Perbedaan dari 11 perjanjian perjanjian yang dilarang
disertai contoh masing masing
1.Oligopoli
Pasar oligopoli
dari segi bahasa berasal dari kata olio yang berarti beberapa dan poli yang
artinya penjual adalah pasar di mana penawaran satu jenis barang dikuasai oleh
beberapa perusahaan. Umumnya jumlah perusahaan lebih dari dua tetapi kurang
dari sepuluh.
Secara
sederhana oligopoli ditafsirkan sebagai kondisi suatu pasar di mana hanya
terdapat sedikit penjual, dan masing-masing menjual barang yang sama dengan
yang lain (Mankiw, 2006: 426). Kondisi pasar yang oligopolistik menyebabkan
tindakan salah satu penjual dalam pasar dapat memengaruhi keuntungan penjual
yang lain. Artinya, perusahaan-perusahaan oligopolistik saling terkait satu
sama lain dengan cara yang berbeda dengan perusahaan-perusahaan yang
berkompetisi dalam sebuah pasar persaingan sempurna.
Perusahaan-perusahaan
yang bertindak sebagai oligopolis tentunya memiliki keuntungan layaknya
perusahaan monopolis di dalam pasar yang tidak kompetitif. Para oligopolis
sangat mungkin menggunakan posisinya yang dominan di dalam pasar untuk secara
bersama-sama menentukan harga yang tinggi yang harus dibayar konsumen.
Praktek-praktek seperti kartel maupun penetapan harga (price fixing) antara
oligopolis sangat mungkin untuk menjauhkan pasar dari efisiensi secara mandiri
dan membuat konsumen membayar harga yang tinggi yang ditetapkan secara
sewenang-wenang antara para oligopolis.
Jadi
dapat isimpulkan yang bmenjadi pembeda antara perjanjian oligopoli yang
dilarang ini dengan perjanjian yang dilarang lain adalah dalam oligopoli ada
sebuah kerjasama antar pelaku usaha dalam hal penguasaan produksi tanpa adanya
pihak yang berkuasa jadi atas keinginan masing masing pelaku usaha. Perjanjian
oligopoli ini diatuir dalam pasal 4 ayat 1 undang undang nomor 5 tahun 1999
Contoh kasus; Perilaku Oligopoli pada Industri
Telekomunikasi
Ada
hal menarik yang dapat dicermati dari gencarnya perang tarif percakapan melalui
telepon seluler akhir-akhir ini, yaitu masing-masing provider mengklaim bahwa
mereka telah memberikan harga terbaik bagi para pelanggannya. Simak saja
misalnya bagaimana perilaku tiga operator telepon seluler terbesar di Indonesia
(PT. Telkomsel, PT. Indosat, dan PT. Exelcomindo Pratama) dalam mengibarkan
bendera perang pemasaran dengan menawarkan tarif percakapan di bawah Rp1 per
detik. Terlepas dari iming-iming menarik yang ditawarkan, perang tarif yang
diluncurkan para operator telepon seluler kini sebenarnya sudah memasuki ranah
yang mengusik perhatian kita kalau tidak mau dikatakan sudah membingungkan atau
bahkan menjebak bagi pelanggan individual.
Kreatifitas
para operator dalam merumuskan skema tarif percakapan ternyata mampu
mengacak-acak perilaku pelanggan sehingga membuat pelanggan individual
seringkali penasaran dan terpancing emosinya. Simak saja bagaimana operator XL
menawarkan tarif Rp 0,1 per detik ke sesama operator; sementara Telkomsel
Simpati PeDe menawarkan Rp 0,5 per detik. Indosat Mentari menawarkan Rp 0
pada menit pertama ke sesama operator; dan IM3 menawarkan tarif Rp 0,01 per
detik ke seluruh operator untuk percakapan 90 detik pertama dan selebihnya
menggunakan tarif Rp 15 per detik ke sesama operator dan Rp25 per detik ke
operator lain. Belum lagi, operator-operator lain kini juga mulai sibuk
menawarkan tarif paling murah ke sesama pelanggan dengan syarat dan kondisi
tertentu.
2.Perjanjian penetapan
harga
Perjanjian
penetapan harga (price fixing agreement)
merupakan salahsatu strategi yang
dilakukan oleh para pelaku usaha yang bertujuan untukmenghasilkan laba yang
setingi-tingginya. Dengan adanya penetapan harga yangdilakukan di antara pelaku
usaha (produsen atau penjual), maka akan meniadakanpersaingan dari segi harga
bagi produk yang mereka jual atau pasarkan, yangkemudian dapat mengakibatkan
surplus konsumen yang seharusnya dinikmatioleh pembeli atau konsumen dipaksa
beralih ke produsen atau penjual. Kekuatanuntuk mengatur harga, pada dasarnya
merupakan perwujudan dari kekuatanmenguasai pasar dan menentukan harga yang
tidak masuk akal, hal ini diatur dalam pasal 5 undang undang No.5 tahun 1999
contoh kasus ; adalah perkara penetapan harga yang didukung oleh
asosiasi pengusaha angkutan jalan raya (Organda DKI Jakarta), didasarkan pada
Putusan Nomor 05/KPPU-I/2003 tentang Penetapan Harga Tarif Bus Kota Patas AC.
Dugaan penetapan harga ditujukan pada penyelenggara angkutan umum, yakni PT
Steady Safe, Tbk., PT Mayasari Bakti, Perum PPD, PT Bianglala Metropolitan, PT
Pahala Kencana, dan PT AJA Putra. Dugaan berawal dari kesepakatan di antara
pengusaha angkutan jalan raya yang tergabung dalam Organda, untuk menaikkan
tarif angkutan Bus Kota Patas AC sebesar Rp. 3.300, dengan menerbitkan Surat
Keputusan Nomor Skep-115/DPD/IX/2001 tentang Penyesuaian Tarif Angkutan Umum
Bus Kota Patas AC di Wilayah DKI Jakarta. Berdasarkan surat ini, mereka yang
tergabung dalam asosiasi, yakni DPD Organda DKI Jakarta, kemudian mengajukan
surat kepada Gubernur Propinsi DKI Jakarta untuk konsultansi tarif Bus Kota
Patas AC. Sesuai dengan permohonan tersebut, maka Gubernur mengeluarkan Surat
Nomor 2640/-1.811.33 tanggal 4 September 2001 mengenai Penyesuaian Tarif
Angkutan, dari Rp. 2.500,- menjadi Rp. 3.300,-.
Alasan
yang digunakan oleh para pengusaha angkutan tersebut antara lain adalah
meningkatnya harga bahan bakar dan spare
parts, sehingga mereka menganggap bahwa tarif yang berlaku saat ini
terlalu rendah atau di bawah biaya pokok angkutan. Oleh karena itu, mereka
sepakat untuk menaikkan tarif secara seragam, meskipun terdapat beberapa
pengusaha angkutan yang hanya memiliki sedikit armada bus, mengaku tidak
memiliki kekuatan untuk menentukan besarnya tarif angkutan tersebut, sehingga
hanya mengikuti saja kesepakatan di antara pihak penentu. Kesepakatan mengenai
penyeragaman tarif ini diakui beberapa penyelenggara angkutan sebagai
bertentangan dengan jiwa persaingan, karena seharusnya yang berhak menentukan
besarnya tarif angkutan adalah para penyelenggara, disesuaikan dengan biaya produksi
masing-masing operator bus kota.
Berdasarkan
bukti-bukti dan pengakuan para pengusaha dan saksi-saksi, maka Komisi Pengawas
Persaingan Usaha memutuskan bahwa kesepakatan di antara para penyelenggara
angkutan Bus Kota tersebut di atas melanggar Pasal 5 Undang-undang Nomor 5
Tahun 1999, dan menetapkan pembatalan kesepakatan penyesuaian tarif bus kota
Patas AC dari Rp. 2.500,- menjadi Rp. 3.300,- per-penumpang.
3.Diskriminasi harga dan
Diskon
Perjanjian
diskriminasi harga adalah perjanjian yang dibuat oleh pelakuusaha dengan pelaku
usaha lainnya dimana untuk suatu produk yang sama dijualkepada setiap konsumen
dengan harga yang berbeda-beda. Secara sederhana,suatu diskriminasi harga telah
terjadi apabila terjadi perbedaan harga antarasatu pembeli dengan pembeli
lainnya. Namun demikian, dapat terjadi bahwadiskriminasi harga tersebut
disebabkan karena adanya perbedaan biaya ataukarena kebutuhan persaingan
lainnya seperti biaya iklan dan lain-lain. Terdapatbeberapa syarat untuk
terjadinya diskriminasi harga yaitu:1) Para pihak haruslah mereka yang
melakukan kegiatan bisnis, sehinggadiskriminasi harga akan merugikan apa yang
disebut
“primary
line” injury
yaitu dimana
diskriminasi harga dilakukan oleh produsen atau grosirterhadap pesaingnya.
Begitu pula diskriminasi harga dapat pula merugikan
“secondary
line”
apabila
diskriminasi harga dilakukan oleh suatu produsenterhadap suatu grosir, atau
retail yang satu dan yang lainnya mendapatkanperlakuan khusus. Hal ini akan
menyebabkan grosir atau retail yang tidakdisenangi tidak dapat berkompetisi
secara sehat dengan grosir atau retailyang disenangi.2) Terdapat perbedaan
harga baik secara lagsung maupun tidak langsung,misalnya melalui diskon, atau
pembayaran secara kredit, namun pada pihaklainnya harus cash dan tidak ada
diskon.3) Dilakukan terhadap pembeli yang berbeda. Jadi dalam hal ini paling
sedikitharus ada dua pembeli.4) Terhadap barang yang sama tingkat dan
kualitasnya.5) Perbuatan tersebut secara substansial akan merugikan, merusak
ataumencegah terjadinya persaingan yang sehat atau dapat menyebabkan
monopoli
pada suatu aktitas perdagangan.
Jadi pembeda
dari Diskriminasi harga dengan perjanjian yang dilarang lain dapat dilihat
pada Pasal 6 Undang-Undang No.5/1999 yakni berbunyi melarang setiap
perjanjian diskriminasiharga tanpa memperhatikan tingkatan yang ada pada
diskriminasi harga, dimana bunyi dari pasal tersebut antara lain: “Pelaku usaha
dilarang membuat perjanjianyang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar
dengan harga yangberbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk
barang dan/ataujasa yang sama.
Contoh kasus
; Salah satu kasus yang pernah diputus oleh KPPU
sehubungan dengan iniadalah Kasus ABC, Putusan Perkara Nomor: 06/KPPU-L/2004
Menyatakan bahwaTerlapor terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 15
ayat (3) hurufb Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999. Adapun duduk perkara secara
singkat adalah sebagai berikut. Pada pertengahan bulan Februari 2004, PT
Panasonic GobelIndonesia (PT PGI) telah melaksanakan program “Single Pack
Display” denganketentuan setiap toko yang mendisplay baterain single
pack (baterai manganesetipe AA) dengan menggunakan standing display akan
diberikan 1 (satu) buahsenter yang sudah diisi dengan 4 baterai dan toko yang
selama 3 (tiga) bulanmendisplay produk tersebut akan mendapatkan tambahan 1
buah senter yang sama,sedangkan untuk material promosi\ (standing
display) diberikan gratis oleh PT PGI.Kemudian pada bulan Maret 2004
diperoleh informasi bahwa Terlaporsedang melaksanakan Program Geser Kompetitor
(PGK). Isi atau kegiatan dariprogram tersebut tertuang dalam suatu “Surat
Perjanjian PGK Periode Maret-Juni2004” yang berisi sebagai berikut:1. Program
Pajang dengan mendapatkan potongan tambahan 2%, denganketentuan sebagai
berikut:a. Toko mempunyai space/ruang pajang baterai ABC dengan ukuran
minimal0,5 x 1 meter;b. Toko bersedia memajang baterai ABC;c. Toko bersedia
memasang POS (material promosi) ABC;2. Komitmen toko untuk tidak menjual
baterai Panasonic dengan mendapatkanpotongan tambahan 2%, dengan ketentuan
sebagai berikut;a. Toko yang sebelumnya jual baterai Panasonic, mulai bulan
Maret sudahtidak jual lagi;b. Toko hanya menjual baterai ABC;3. Mengikuti
Program Pajang dan Komitmen untuk tidak jual baterai Panasonic;a. Bahwa patut
diduga PGK tersebut dilakukan oleh Terlapor;b. Bahwa Terlapor diduga
melaksanakan PGK dengan cara membuat perjanjiandengan toko untuk tidak menjual
baterai Panasonic;Berdasarkan analisis fakta-fakta di atas, Majelis Komisi
berpendapat bahwaTerlapor telah membuat Perjanjian PGK yang ditanda tangani
oleh toko grosiratau semi grosir peserta PGK berdasarkan hal tersebut di atas,
unsur “membuatperjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas
barang dan atau jasa”dalam pasal 15 ayat 3 telah terpenuhi. Majelis Komisi selanjutnya
berpendapatbahwa kegiatan promosi berupa PGK yang memuat ketentuan atau
persyaratanyang melarang toko grosir atau semi grosir untuk menjual baterai
Panasonicmerupakan upaya untuk menyingkirkan atau setidak-tidaknya mempersulit
pelakuusaha pesaingnya, dalam perkara ini PT PGI, untuk melakukan kegiatan
usahayang sama dalam pasar yang bersangkutan. Sehingga unsur “menolak dan
ataumenghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang
samapada pasar bersangkutan” pada pasal ini telah terpenuhi
4.Perjanjian pembagian
wilayah (market division)
Pelaku usaha membuat perjanjian dengan
pelaku usaha pesaingnya untukmembagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar adalah salah satu cara yangdilakukan untuk
menghindari terjadinya persaingan di antara mereka. Melaluipembagian wilayah
ini, maka para
pelaku usaha dapat menguasai wilayah pemasaranatau alokasi pasar yang menjadi bagiannya tanpa harus menghadapi persaingan.Dengan demikian dia akan
mudah menaikkan harga ataupun menurunkan produksinyaatau barang yang dijual
untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya.Pada prinsipnya perjanjian
diantara pelaku usaha untuk membagi wilayahpemasaran pemasaran diantara mereka
akan berakibat kepada eksploitasi terhadapkonsumen, dimana konsumen tidak mempunyai
pilihan yang cukup baik dari segibarang maupun harga. Undang-undang No.5/1999
melarang perbuatan tersebutdalam Pasal 9 berbunyi:“pelaku usaha dilarang
membuat perjanjian dengan pelaku usahapesaingnya yang bertujuan untuk membagi
wilayah pemasaran atau alokasipasar terhadap barang dan/atau jasa sehingga
dapat mengakibatkanterjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak
sehat.”Stephen F. Ross menyatakan bahwa hilangnya persaingan di antara
sesamapelaku usaha dengan cara melakukan pembagian wilayah bisa membuat pelaku
usahamelakukan tindakan pengurangan produksi ke tingkat yang tidak efesien,
kemudianmereka juga dapat melakukan eksploitasi terhadap konsumen dengan
menaikanharga produk, dan menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk bertindak
sewenang-wenang terhadap konsumen yang sudah teralokasi sebelumnya tersebut
Contoh
kasusnya ; Contoh
kasusnya : Adapun para Terlapor dalam kasus ini adalah Terlapor I adalah
DewanPengurus Pusat Asosiasi Kontraktor Listrik dan Mekanikal Indonesia (DPP
AKLI),Terlapor II Dewan Pengurus Daerah Asosiasi Kontraktor Listrik dan
MekanikalIndonesia (DPD AKLI) Sulawesi Selatan, Terlapor III Dewan Pengurus
CabangAsosiasi Kontraktor Listrik dan Mekanikal Indonesia (DPC AKLI) Palopo,
TerlaporIV Dewan Pengurus Cabang Asosiasi Kontraktor Listrik dan Mekanikal
Indonesia(DPC AKLI) Luwu Utara, Terlapor V Dewan Pengurus Cabang Asosiasi
KontraktorListrik dan Mekanikal Indonesia (DPC AKLI) Luwu Timur, Terlapor VI
DewanPengurus Cabang Asosiasi Kontraktor Listrik dan Mekanikal Indonesia (DPC
AKLI)Tana Toraja.Bahwa Terlapor I adalah asosiasi perusahaan yang bergerak di
bidangpekerjaan elektrikal dan mekanikal yang bertujuan membina
anggota-anggotanyauntuk dapat memenuhi tugas dan tanggung jawab dalam proses
pembangunanIndonesia di bidang ketenagalistrikan. Terlapor I memiliki 32 (tiga
puluh dua) DewanPengurus Daerah (DPD), 121 (seratus dua puluh satu) Dewan
Pengurus Cabang(DPC), dan 4806 (empat ribu delapan ratus enam) badan usaha
instalatir.Terlapor II adalah pengurus daerah Terlapor I di Propinsi Sulawesi
Selatan,Terlapor II membawahi 9 (sembilan) DPC dan memiliki anggota sebanyak
173(seratus tujuh puluh tiga) badan usaha instalatir. Terlapor III adalah
penguruscabang Terlapor I di Kota Palopo, Sulawesi Selatan, dan memiliki
anggotasebanyak 11 (sebelas) anggota badan instalatir. Terlapor IV adalah
penguruscabang Terlapor I di Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan, memiliki
anggotasebanyak 11 (sebelas) anggota badan instalatir. Terlapor V adalah
penguruscabang Terlapor I di Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan, memiliki
anggotasebanyak 10 (sepuluh) anggota badan instalatir.KPPU berpendapat
berdasarkan bukti-bukti bahwa Terlapor I melaluiTerlapor II, Terlapor III,
Terlapor IV, Terlapor V, Terlapor VI, dan DPC-DPC lain diwilayah Sulawesi Selatan,
membagi wilayah kerja PJT berdasarkan wilayah cabangPT. PLN (Persero) di
Sulawesi Selatan. Namun khusus di wilayah PT. PLN (Persero)Cabang Palopo,
Terlapor II membagi lagi wilayah kerja PJT ( Penanggung JawabTeknik) menjadi 4
(empat) wilayah berdasarkan tempat kedudukan DPC berada,yaitu: Terlapor III,
Terlapor IV, Terlapor V, dan Terlapor VI. Pembagian wilayah PJTdalam SP-PJT
oleh Terlapor I dapat dikategorikan sebagai perjanjian dilaksanakanoleh
Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V, dan Terlapor VI.Adapun yang
menjadi alasan dari Terlapor I membagi wilayah kerjaPJT melalui SP-PJT adalah
untuk keselamatan dan keamanan instalasi, sertamemberdayakan potensi sumber
daya PJT setempat
Pembagian
wilayah kerja PJT yang dilakukan oleh Terlapor I di daerahSulawesi Selatan
melalui Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V, TerlaporVI, dan
DPCDPC lainnya di Sulawesi Selatan ini, menimbulkan dampak badan
usahainstalatir tidak dapat menggunakan PJT-nya di wilayah lain dan harus
menggunakanjasa PJT setempat yang menjadi pegawai di badan usaha
instalatir.Putusan ini menunjukkan kepada kita bahwa suatu assosiasi
perusahaandapat digunakan untuk melakukan aktivitas ataupun perjanjian-perjanjian
yanganti persaingan. Dengan adanya pembagian wilayah tersebut, maka kiranya
jelashal tersebut akan menyebabkan terjadinya persaingan usaha yang tidak
sehat.Pada sisi lain tidak ditemukan adanya alasan-alasan yang dapat
membenarkanperbuatan tersebut
5. Pemboikotan
Perjanjian
pemboikotan merupakan salah satu bentuk usaha yang dilakukanpara pelaku usaha
untuk mengeluarkan pelaku usaha lain dari pasar yang sama,atau juga untuk
mencegah pelaku usaha yang berpotensi menjadi pesaing untukmasuk ke dalam pasar
yang sama, yang kemudian pasar tersebut dapat terjagahanya untuk kepentingan
pelaku usaha yang terlibat dalam perjanjian pemboikotantersebut.Pemboikotan
atau concerted refusal to deal pada umumnya merupakantindakan kolektif
sekelompok pesaing. Namun demikian boycott dapat pulamerupakan tindakan
sepihak atau kolektif untuk menghentikan suplai atau pembeliankepada atau dari
konsumen tertentu atau penerapan syarat-syarat tertentu kepadakonsumen atau
supplier tertentu yang tidak melakukan tindakan yang dikehendaki oleh
pemboikot. Jadi tindakan pemboikotan bisa merupakan untuk memaksa agar
mengikuti perbuatan si pemboikot atau bisa pula merupakan suatu hukuman bagi
pelanggar.
Pemboikotan
ini diatur dalam pasal 10 undang undang Nomor 5 Tahun 1999.
Contoh
kasusnya ; Secara
singkat duduk persoalan dalam kasus ini adalah sebagai berikut.Pelapor dalam
kasus ini adalah Northwest Wholsale Stationers adalah sebuahkoperasi agen
pembelian yang terdiri dari kurang lebih retailer alat-alat kantor di
Pacifc Northwest
US. Koperasi bertindak sebagai
retailer
utama bagi retail-retaillainnya.Retailer yang bukan anggota dapat membeli
alat-lata kantor dengan hargayang sama dengan anggota. Namun pada setiap akhir
tahun koperasi membagikankeuntungan kepada anggotanya dalam bentuk percentase
rebate dalam pembelian.Sehingga sebenarnya anggota membeli lebih rendah
dari non anggota. Sementara Terlapor Pacifc Stationery Co. adalah menjual alat kantor baik
retail maupun wholesale . Pacifc menjadi anggota Northwest sejak tahun 1958. Pada
tahun 1978 Northwest merubah anggaran dasarnya dengan melarang
anggotanyamenjual retail dan wholesale . Suatu klausula menjamin hak Pacic untuk
menjadianggota. Pada tahun 1977 kepemilikan Pacic berpindah tangan, namun pemilik baru ini tidak
melakukan perubahan kegiatannya, hal mana bertentangan dengananggaran dasar
Northwest. Pada tahun 1978 sebagian besar anggota Northwest 140 472 US 284
(1985) memutuskan untuk mengeluarkan Pacic. Pacic kemudian membawa perkara ini ke pengadilan
berdasarkan group boycott yang membatasi kemampuan Paciifcuntuk
berkompetisi karena harus dinyatakan melanggar hukum persiangan secara per se
illegal .Pengadilan Negeri menyatakan tidak terdapat pelanggaran
hukumpersaingan secaraper se illegal karenanya harus dipreriksa secara
rule of reason Namun Pengadilan Banding menyatakan bahwa Northwest
melanggar Sherman Act secara per se illegal
.
6. Kartel
Dalam suatu
struktur pasar yang kompetitif, dimana pelaku usaha yangberusaha di dalam pasar
tersebut jumlahnya banyak, serta tidak ada hambatanbagi pelaku usaha untuk
masuk kedalam pasar, membuat setiap pelaku usahayang ada di dalam pasar tidak
akan mampu untuk menyetir harga sesuai dengankeinginannya, mereka hanya
menerima harga yang sudah ditentukan oleh pasardan akan berusaha untuk
berproduksi secara maksimal agar dapat mencapai suatutingkat yang efesien dalam
berproduksi. Namun sebaliknya dalam pasar yangberstruktur oligopoli, dimana di
dalam pasar tersebut hanya terdapat beberapapelaku usaha saja, kemungkinan
pelaku usaha berkerjasama untuk menentukanharga produk dan jumlah produksi dari
masing-masing pelaku usaha menjadi lebihbesar. Oleh karena itu biasanya praktek
kartel dapat tumbuh dan berkembang padapasar yang berstruktur oligopoli, dimana
lebih mudah untuk bersatu dan menguasaisebagian besar pangsa pasar.
Praktek
kartel merupakan salah satu strategi yang diterapkan diantarapelaku usaha untuk
dapat mempengaruhi harga dengan mengatur jumlah produksimereka. Mereka
berasumsi jika produksi mereka di dalam pasar dikurangi sedangkanpermintaan
terhadap produk mereka di dalam pasar tetap, akan berakibat kepadanaiknya harga
ke tingkat yang lebih tinggi. Dan sebaliknya, jika di dalam pasar produkmereka
melimpah, sudah barang tentu akan berdampak terhadap penurunan hargaproduk
mereka di pasar. Oleh karena itu, pelaku usaha mencoba membentuk suatukerjasama
horizontal (pools) untuk menentukan harga dan jumlah produksi barangatau
jasa. Namun pembentukkan kerjasama ini tidak selalu berhasil, karena
paraanggota seringkali berusaha berbuat curang untuk keuntungannya
masing-masing
Larangan
perjanjian kartel ini diatur dalam pasa 11 undang undang nomor 5 tahun 2005
Contoh
kasusnya ; contoh kasus
mengenai kartel yang pernah diputus oleh KPPUyaitu Putusan No. 03/KPPU-I/2003
mengenai Kargo Surabaya-Makasar. Adapunduduk perkaranya adalah sebagai berikut
Tujuh perusahaan pelayaran yaitu PT.Meratus, PT. Tempuran Emas, PT. Djakarta
Lloyd, PT. Jayakusuma Perdana Lines,PT. Samudera Indonesia, PT. Tanto Intim
Line, dan PT. Lumintu Sinar Perkasa padaRapat Pertemuan Bisnis di Ruang Rapat
MPH I Hotel Elmi Surabaya pada hariSenin tanggal 23 Desember 2002 yang dihadiri
para Terlapor, Saksi I dan SaksiIII telah disepakati penetapan tarif dan kuota
yang kemudian dituangkan dalamBerita Acara Pertemuan Bisnis di Hotel Elmi
Surabaya dan masing-masing pihakmengakui dan membubuhkan tanda tangan atas
dokumen kesepakatan tarif dankuota. Pelaksanaan kesepakatan tahap I mulai
berlaku sejak 1 Januari 2003sampai dengan 31 Maret 2003.Unsur Pasar 11 UU No. 5
Tahun 1999 pada intinya adalah adanya kesepakatanantar perusahaan yang bersaing
untuk mengatur produksi dan atau pemasaransuatu barang atau jasa yang ditujukan
untuk mempengaruhi harga dan dapatmengakibatkan terjadinya persaingan usaha
yang tidak sehat.Dengan ditetapkannya kuota bongkar muat tersebut, para
Terlapor telahmengatur produksi jasa pengangkutan laut khusus barang (kargo)
dari paraTerlapor yang melayani jalur Surabaya – Makassar – Surabaya dan
Makassar –Jakarta – Makassar, yang bertujuan mencegah terjadinya perang harga.
Disamping
itu dengan ditetapkannya kuota bongkar muat peti kemas tersebut paraTerlapor
telah melakukan tindakan yang meniadakan persaingan usaha antaraanggota kartel.
Dengan demikian para Terlapor telah melakukan praktek usahapersaingan tidak
sehat sehingga melanggar Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5Tahun 1999
7.Oligopsoni
Oligopsoni
adalah merupakan bentuk suatu pasar yang di dominasi olehsejumlah konsumen yang
memiliki kontrol atas pembelian. Struktur pasar inimemiliki kesamaan dengan struktur
pasar oligopoli hanya saja struktur pasar initerpusat di pasar input. Dengan
demikian distorsi yang ditimbulkan oleh kolusiantar pelaku pasar akan
mendistorsi pasar input.
Oligopsoni merupakan salah satu bentuk praktek anti persaingan yang cukupunik,
karena dalam praktek oligopsoni yang menjadi korban adalah produsenatau
penjual, dimana biasanya untuk bentuk-bentuk praktek anti persaingan
lain(seperti price fixing ,price discrimination , kartel, dan
lain-lainnya) yang menjadi korban umumnya konsumen atau pesaing. Dalam
oligopsoni, konsumen membuatkesepakatan dengan konsumen lain dengan tujuan agar
mereka secara bersama-sama dapat menguasai pembelian atau penerimaan pasokan,
dan pada akhirnyadapat mengendalikan harga atas barang atau jasa pada pasar
yang bersangkutan.Terdapat beberapa syarat agar oligopsoni dapat berhasil.
Pertama, pelakuusaha harus setuju baik secara tegas maupun secara diam-diam
untuk bertindakbersama. Kedua, mereka haruslah merupakan pembeli dalam jumlah
yang besaratau dominan. Ketiga, adanya mekanisme agar perjanjian ditaati dan
tidak adakecurangan. Terakhir, mereka harus mampu mencegah masuknya pemain
baru,karena apabila pemain baru bisa masuk, maka perjanjian oligopsoni tidak
akanefektif. Oligopsoni sebenarnya merupakan bagian dari kartel yaitu kartel
pembelian.Seperti pada Kartel, maka oligopsoni juga ada yang pro persaingan dan
ada yang merugikan persaingan.
Larangan
praktek oligopsoni ini diatur dalam pasal 12 Undang Undang Nomor 5 tahun 1999.
Contoh kasus
; Pada kesempatan ini juga akan
dijelaskan lebih lanjut dengan membahaskasus oligopsoni In re BEEF INDUSTRY
ANTITRUST LITIGATION MDL DOCKET NO.248. MEAT PRICE INVESTIGATORS ASSOCIATION,
an Iowa unincorporated associationand trust , et al., Plaintiffs-Appellants,
vs. IOWA BEEF PROCESSORS, INC. (nowknown as IBP, Inc.), a Delaware Corporation,
et al., Defendants-Appellees (No.89-1483.Aug. 1,1990. Adapun secara ringkas
kasusnya adalah sebagai berikut.Assosasi Investigator Harga Daging dan beberapa
peternak sapi, mengajukan IowaBeef Processors, Inc., Excel Corporation dan The
National Provisioners, Inc. (The Yellow Sheet ke Pengadilan pada
tahun 1977. Adapun yang menjadi alasanadalah bahwa retailer dan
packers (pengepak) melakukan konspirasi baik secarahorisontal maupun
vertikal untuk menurunkan harga dari sapi.Mereka mendalilkan bahwa konspirasi
ini mengikuti skema penetapanharga. The National Provisioner
mempublikasikan setiap hari harga produk sapipada the Yellow Sheet The
Yellow Sheet mendasarkan publikasinya laporan dariharga komoditas
tersebut pada saat itu. Para pengepak menggunakan harga the Yellow
Sheet untuk menentukan harga yang mereka tawarkan kepada
peternaksapi.Pengepak mendalilkan bahwa seperti ditemukan oleh Pengadilan
Negeri,bahwa the Yellow Sheet adalah informasi publik yang dapat dibeli
dan digunakanoleh semua pihak. Mereka juga mendalilkan bahwa peternak sapi
tidak mempunyaibukti bahwa telah terjadi parallel pricing oleh IBP dan
Excel yang merupakanindependen bisnis.Tergugat juga mempunyai bukti yang cukup,
bahwa the Yellow Sheet adalah merupakan salah satu faktor, masih
terdapat faktor-faktor lain yangmenjadi pertimbangan pengepak dalam menentukan
harganya yaitu: Pertamakebutuhan pengepak itu sendiri untuk menentukan kebutuhannya
akan dagingsetiap minggunya, termasuk dalam hal ini kontrak dengan buruh yang
tetap harusdibayar terlepas ada pekerjaan atau tidak; Kedua kondisi pasar pada
saat itu apakah over supply atau tidak; Ketiga, persaingan harga antara
pengepak; Keempat adalah harga berdasarkan pasar produk yang dapat
memaksapengepak membayar lebih mahal atau lebih murah dari daftar harga dalam
the Yellow Sheet .Berdasarkan pada fakta-fakta tersebut, maka
Pengadilan Banding menolakklaim dari peternak sapi. Apabila Penggugat
mendalilkan adanya concious paralellism , maka syaratnya haruslah
terdapat parralel antar tergugat. Pengadilan menyatakan bahwa tidak terdapat
paralellism antara para tergugat.
8. Integrasi vertikal
Dalam
melakukan kegiatan usahanya pelaku usaha tentu akan melakukanhubungan-hubungan
dengan pihak lainnya, baik dengan para kompetitornya maupundengan para pemasok.
Hubungan-hubungan ini adalah hal yang wajar dan memangharus dilakukan oleh
pelaku usaha untuk menjalankan usahanya. Namun, ketika suatupelaku usaha ingin
pangsa pasar yang dimilikinya menjadi lebih besar, pertumbuhanperusahaan dan
perolehan laba yang semakin meningkat, tingkat efesiensi yangsemakin tinggi dan
juga untuk mengurangi ketidakpastian akan pasokan bahanbaku yang dibutuhkan
dalam berproduksi dan pemasaran hasil produksi, biasanyaperusahaan akan
melakukan penggabungan ataupun kerjasama dengan pelaku-pelaku usaha lain yang
secara vertikal berada pada level yang berbeda pada prosesproduksi, maka
kerjasama ini disebut integrasi vertikal. Jadi integrasi vertikalterjadi ketika
satu perusahaan melakukan kerjasama dengan perusahaan lain yangberada pada
level yang berbeda dalam suatu proses produksi, sehingga membuatseolah-olah
mereka merupakan satu perusahaan yang melakukan dua aktivitasyang berbeda
tingkatannya pada satu proses produksi.
Kalau pelaku
usaha ingin meningkatkan penghasilan (revenue) , biasanya yangumum
dilakukan adalah dengan cara meningkatkan produksi. Namun bagi perusahaanyang
sudah berproduksi dalam kapasitas penuh, rasanya sangat sulit untuk
dapatmeningkatkan penghasilan yang lebih tinggi lagi. Dalam hal ini, maka
peningkatanproduksi hanya dapat dilakukan pelaku usaha tersebut dengan
meningkatkan skalaperusahaannya. Terjadi peningkatan dalam skala perusahaan
akan memberikanpengaruh terhadap peningkatan produksi yang pada akhirnya dapat
meningkatkankeuntungan yang lebih tinggi lagi dibandingkan sebelum pelaku usaha
tersebutmeningkatkan skala perusahaannya. Salah satu jalan yang dilakukan
pelaku usahauntuk meningkatkan skala perusahaan adalah melalui
penggabungan/integrasidengan perusahaan lain yang berada pada level yang
berbeda.
Larangan
praktek integrasi vertikal ini diatur dalam pasal 14 Undang undang No.5 tahun
1999
Contoh kasus ; alah satu kasus yang pernah diputus oleh KPPU adalah
apa yang dikenaldengan kasus Abacus yaitu Putusan No. 01/KPPU-L/2003. Terlapor
dalam kasusini adalah PT. (Persero) Perusahaan Penerbangan Garuda Indonesia
(disingkat“Garuda Indonesia”).Adapun duduk perkara adalah sebagai berikut.
Bahwa Terlapor adalahbadan usaha yang berbentuk badan hukum dengan kegiatan
usaha antara lainmelaksanakan penerbangan domestik dan internasional komersial
berjadwaluntuk penumpang serta jasa pelayanan sistem informasi yang berkaitan
denganpenerbangan. Untuk mendukung kegiatan usaha penerbangannya
tersebut,Terlapor mengembangkan sistem ARGA sebagai sistem informasi
pengangkutanudara domestik. Sedangkan untuk sistem informasi penerbangan
internasional,Terlapor bekerjasama dengan penyedia CRS dalam bentuk perjanjian
distribusiSistem informasi ini digunakan oleh biro perjalanan wisata untuk
melakukanreservasi danbooking tiket penerbangan Terlapor
secaraonline . Bahwa akibatkrisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997, semakin
menambah beban keuanganTerlapor yang memaksanya untuk melakukan pemotongan
biaya-biaya.Salah satu upaya yang dilakukan adalah menarik dumb terminal
Terlapor disetiap biro perjalanan wisata, yang kemudian menyertakan sistem ARGA
di dalamterminalAbacus. Bahwa pada tanggal 28 Agustus 2000, Terlapor dan Saksi
Imenyepakati pendistribusian tiket domestik Terlapor di wilayah
Indonesiahanyadilakukan dengan dual access melalui terminal
Abacus.Kebijakandual access tersebut tidak dituangkan dalam perjanjian
tertulis.Hal ini telah diakuioleh Terlapor dan dikuatkan oleh dokumen yang
diserahkanoleh Saksi I kepada Majelis Komisi. Kesepakatan tersebut di atas
ditempuh karenabiaya transaksi penerbangan internasional dengan menggunakan
sistem Abacuslebih murah.Dual access hanya diberikan kepada Saksi I
sebagai penyedia sistemAbacus bertujuan agar. Terlapor dapat mengontrol biro
perjalanan wisata diIndonesia dalam melakukan reservasi danbooking tiket
penerbangan. Semakinbanyak biro perjalanan wisata di Indonesia yang menggunakan
sistem Abacusuntuk melakukan reservasi dan booking penerbangan internasional
Terlaporyang pada akhirnya akan mengurangi biaya transaksi penerbangan
internasionalTerlapor.Terlapor hanya akan menunjuk biro perjalanan wisata yang
menggunakansistem Abacus sebagai agen pasasi domestik. Posisi Terlapor yang
menguasaipenerbangan domestik dan kemudahan untuk menjadi agen maskapai
lain,menjadi daya tarik bagi biro perjalanan wisata untuk menjadi agen
pasasidomestik Terlapor. Bahwa sistem ARGA yang hanya disertakan pada terminalAbacus
mengakibatkan sistem lain mengalami kesulitan untuk memasarkanke biro
perjalanan wisata karena biro perjalanan wisata lebih memilih sistemAbacus yang
memberi kemudahan untuk memperoleh sambungan sistem ARGA.Untuk mendukung
kebijakandual access , Terlapor menambahkan persyaratanbagi biro
perjalanan wisata agar dapat ditunjuk sebagai agen pasasi domestik,yaitu
menyediakan sistem Abacus terlebih dahulu untuk selanjutnya mendapatkanterminal
ID biro perjalanan wisata yang bersangkutan/dibuka sambungan kesistem ARGA (
persyaratan Abacusconnection ).KPPU Berpendapat bahwa PT Garuda Indonesia
telah melanggar Pasal 14UU NO. 5 tahun 1999 karena telah melakukan penguasaan
serangkaian prosesproduksi atas barang tertentu mulai dari hulu sampai hilir
atau proses berlanjutatas suatu layanan jasa tertentu oleh pelaku usaha
tertentu. Praktek integrasivertikal meskipun dapat menghasilkan barang dan jasa
dengan harga murah,tetapi dapat menimbulkan persaingan usaha tidak sehat yang
merusak sendi-sendiperekonomian masyarakat. Praktek seperti ini dilarang
sepanjang menimbulkanpersaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan
masyarakat. Dengan kegiatanusaha Terlapor adalah melaksanakan penerbangan
komersial berjadwal untukpenumpang domestik dan internasional dengan mengoperasikan
pesawat sebagaisarana pengangkutan. Bahwa dalam perkara ini, penguasaan proses
yang berlanjutatas suatu layanan jasa tertentu oleh Terlapor adalah penguasaan
proses yangberlanjut atas layanan informasi dan jasa distribusi tiket
penerbangan domestikdan internasional Terlapor.
9. Perjanjian tertutup
Perjanjian
tertutup atau (excusive dealing)
adalah suatu perjanjian yangterjadi
antara mereka yang berada pada level yang berbeda pada proses produksiatau
jaringan distribusi suatu barang atau jasa.
Ekslusif
dealing atau perjanjiantertutup ini terdiri dari:
a. Exclusive
Distribution Agreement
yang
dimaksud disini adalah pelaku usaha membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain
yang memuat persyaratanbahwa pihak yang menerima produk hanya akan memasok atau
tidak memasok kembali produk tersebut kepada pihak tertentu atau pada tempat
tertentu saja,atau dengan kata lain pihak distributor dipaksa hanya boleh
memasok produkkepada pihak tertentu dan tempat tertentu saja oleh pelaku usaha
manufaktur.
b.Tying Agreement
terjadi
apabila suatu perusahaan mengadakan perjanjiandengan pelaku usaha lainnya yang
berada pada level yang berbeda denganmensyaratkan penjualan ataupun penyewaan
suatu barang atau jasa hanyaakan dilakukan apabila pembeli atau penyewa
tersebut juga akan membeli ataumenyewa barang lainnya.
c.
Vertical
Agreement on Discount
Pasal 15
ayat (3) Undang-undang No. 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa:“pelaku usaha dilarang
membuat perjanjian mengenai harga atau potongan hargatertentu atas barang
dan/atau jasa yang memuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima barang
dan/atau jasa dari usaha pemasok:
a. Harus
bersedia membeli barang dan/atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok atau;
b. Tidak
akan membeli barang dan/atau jasa yang sama atau sejenis daripelaku usaha lain
yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok.
Dengan kata
lain, apabila pelaku usaha ingin mendapatkan harga diskonuntuk produk tertentu
yang dibelinya dari pelaku usaha lain, pelaku usahaharus bersedia membeli
produk lain dari pelaku usaha tersebut atau tidak akanmembeli produk yang sama
atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadipesaing.Akibat yang mungkin
muncul dari perjanjian di atas, khususnya mengenaiadanya kewajiban bagi pelaku
usaha yang menerima produk dengan harga diskon,yang kemudian diharuskan untuk
membeli produk lain dari pelaku usaha pemasoksebenarnya sama dengan akibat yang
ditimbulkan oleh
tying
agreement
, yaitu menghilangkan
hak pelaku usaha untuk secara bebas memilih produk yang inginmereka beli, dan
membuat pelaku usaha harus membeli produk yang sebenarnyatidak dibutuhkan oleh
pelaku usaha tersebut
Contoh kasus
; Pada kesempatan ini akan dibahas mengenai Pasal 15
ayat 1. Pada kasus ini Terlapor I, Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV,
Terlapor V, Terlapor VI, TerlaporVII, Terlapor VIII, Terlapor IX, dan Terlapor
X membentuk Konsorsium DistributorSemen Gresik Area 4. Konsorsium ini diduga
melakukan pelanggaran atas UU No. 5tahun 1999 dalam bentuk mewajibkan para
Langganan Tetap (LT) di Area 4 untukmenjual Semen Gresik. Pelanggaran terhadap
Pasal 15 ayat (1) Undang-undangNomor 5 Tahun 1999 yang dilakukan oleh
Konsorsium dalam bentuk himbauankepada LT untuk bersedia hanya menjual Semen
Gresik saja.Bahwa adanya aturan yang diterapkan oleh Konsorsium tentang
laranganbagi LT menjual merek semen selain Semen Gresik, menyebabkan salah satu
LT diArea 4 mengajukan permohonan pengunduran diri sebagai LT kepada Terlapor
XIkarena menjual semen merek lain selain Semen Gresik dan dianggap oleh
oknum-oknum Terlapor XI kurang menguntungkan bagi Terlapor XI. Bahwa sebelum
adaKonsorsium, LT dapat membeli Semen Gresik kepada Distributor yang mana
sajadan dapat melakukan negosiasi harga, namun setelah ada Konsorsium, LT
hanyabisa membeli kepada Distributor tertentu dengan harga yang telah
ditetapkan.Terlapor mendalilkan bahwa maksud pembentukan Konsorsium adalahuntuk
menghadapi para LT dan toko yang sering “mengadu domba” Terlapor I,Terlapor II,
Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V, Terlapor VI, Terlapor VII, TerlaporVIII,
Terlapor IX, dan Terlapor X yang mengakibatkan terjadinya perang harga
antarDistributor. Bahwa tujuan pembentukan Konsorsium adalah untuk
menghilangkanperang harga di antara para Anggota Konsorsium.Namun KPPU
menyatakan bahwa Terlapor I, Terlapor II, Terlapor III, TerlaporIV, Terlapor V,
Terlapor VI, Terlapor VII, Terlapor VIII, Terlapor IX, Terlapor X, danTerlapor
XI terbukti secara sah dan meyakinkan telah melanggar Pasal 15 ayat(1) Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1999;
10.Trust
Untuk dapat
mengontrol produksi atau pemasaran produk di pasar ternyatapara pelaku usaha
tidak hanya cukup dengan membuat perjanjian kartel diantaramereka, tetapi
mereka juga terkadang membentuk gabungan perusahaan atauperseroan yang lebih
besar
(trust)
, dengan
tetap menjaga dan mempertahankankelangsungan hidup masing-masing perusahaan
atau perseroan anggotanya.
Trust sebenarnya
merupakan wadah bagi pelaku usaha yang didisain untukmembatasi persaingan dalam
bidang usaha atau industri tertentu. Gabunganantara beberapa perusahaan yang
bersaing dengan membentuk organisasi yanglebih besar yang akan mengendalikan
seluruh proses produksi dan atau pemasaransuatu barang. Suatu
Trust terjadi
dimana sejumlah perusahaan menyerahkan sahammereka pada suatu “badan trustee
” yang kemudian memberikan sertikat dengan nilai yang sama kepada anggota trust
Trust pertama
yang sangat terkenal adalah Standard Oil yang terbentuk pada tahun 1882, yang
kemudian diikuti olehbanyak industri lainnya. Hal ini menyebabkan banyaknya
kemajuan-kemajuan diAmerika. Namun, karena trust juga mengakibatkan
adanya pemusatan kekuasaan,maka trust dianggap suatu yang melanggar hukum.
Undang-undang No.5/1999, menyatakan bahwa trust merupakan salah satuperjanjian
yang dilarang untuk dilakukan. Pasal 12 Undang-undang No. 5 Tahun1999 berbunyi:
“pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan membentukgabungan perusahaan
atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga danmempertahankan
kelangsungan hidup masing-masing perusahaan atau perseroananggotanya yang
bertujuan untuk mengontrol produksi dan/atau pemasaran atasbarang dan/atau
jasa, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopolidan/atau
persaingan usaha tidak sehat.
Contoh kasus ; Salah satu putusan landmark
mengenai Trust ini adalah kasus StandardOil Company of New Jersey vs.
United States. Secara singkat kasusnya adalahsebagai berikut: Para Tergugat
didakwa melakukan konspirasi untuk menghambatperdagangan minyak, penyulingan
minyak dan produk-produk minyak lainnya.Konspirasi telah dimulai sejak tahun
1870 oleh ketiga dari Terdakwa yaitu John D.Rockeffeller, William Rockefeller
dan Hendri M. Flagler. Adapun masa konspirasiini dibagi dalam tiga periode
yaitu tahun 1870 – 1882, dari tahun 1882 – 1899 dan1899 – sampai adanya
perkara.Pada tahun 1870 – 1882, John D. Rockefeller dan William Rockefellerdan
beberapa orang lainnya membuat tiga partnership yang bergerak
dibidangperminyakan dan mengapalkannya kebeberapa Negara bagian. Pada tahun 1870dibentuklah
Standard Oil Company of Ohio dan ketiga partnership ini digabungkandalam
perusahaan ini dan menjadi milik bersama sesuai dengan sahamnyamasing-masing.
Bahwa sejak itu telah dilakukan penggabungan-penggabungan.Sejak tahun 1872
perusahaan tersebut telah mendapatkan pangsa pasar yangsubstansial kecuali 3
atau 4 dari 35 atau 40 penyulingan minyak yang berlokasi diCleveland, Ohio.
Berdasarkan pada kekuatan ini, dan sesuai dengan tujuannya untukmembatasi dan
memonopoli perdagangan baik antar Negara bagian maupun padaNegara bagian
tersebut, maka anggota mendapatkan banyak kemudahaan baik dariharga, transport
(railroad) dibandingkan kompetitornya. Hal ini memaksa kopetitoruntuk
menjadi bagian dari perjanjian atau menjadi bangkrut. Para pihak yangtergabung pada
saat itu telah menguasai 90% dari bisnis produksi, pengapalan,penyulingan dan
penjualan minyak dan produknya.Pada periode kedua yaitu tahun 1882 – 1899
dimana saham dari 40perusahaan termasuk Standard Oil Company of Ohio diletakkan
pada suatu Trustee dan ahli warisnya untuk kepentingan semua pihak
secara bersama. Perjanjian ini dibuat dengan mengeluarkan sertikat Standard
Oil Trust. Setelah itu Trustee jugamembuat atau mengorganisir Standard
Oil Company of New jersey dan Standard OilCompany of New York. Akhirnya MA pada
tanggal 2 Maret 1892 menyatakan bahwa Trustee ini batal demi hukum karena
perjanjian tersebut menghambat perdagangandan berpuncak pada pembentukan
monopoli yang melanggar hukum
11. Perjanjian dengan pihak luar negri
Terdapat beberapa
persoalan sehubungan dengan pemberlakuan Undang-undang suatu negara terhadap
orang atau badan hukum yang berada diluar negeri,yaitu; pertama, apakah KPPU
dan pengadilan Indonesia dapat memeriksa pelanggaran atas UU No. 5 Tahun 1999 yang dilakukan oleh
pelaku usaha yang berada danmelakukan kegiatan di negara lain. Apabila Hukum
Persaingan Usaha dapat berlakupada pelaku usaha yang berada pada wilayah negara
lain, apakah tidak lebihbaik diselesaikan secara diplomasi. Kedua, kemungkinan
tidak tepatnya pengadilanuntuk memeriksa hubungan antara satu negara dengan
negara-negara lainnyadalam hubungannya dengan perusahaan yang melakukan
kegiatannya di negaratersebut. Ketiga, kemungkinan adanya kekebalan hukum atau
kedaulatan suatunegara yang mempunyai saham pada perusahaan tersebut. Keempat,
kemungkinanakan menimbulkan tindakan yang tidak fair atas pelaku usaha yang
bertindakdengan itikad baik dan dilakukan berdasarkan kebijakan dari
negara-negara yangberbeda. Kelima, kesulitan untuk mengontrol atau mengawasi
keadaan yang ada diluar negeri dengan suatu kebijakan lokal. Terakhir, adanya
kesulitan untukmenjatuhkan putusan yang tepat, mengigat rumitnya
masalah-masalah persainganusaha, ditambah dengan kondisi pasar internasional,
perbedaan adat istiadat, danbesarnya perbedaan situasi dan kondisi ekonomi
negara tersebut masing-masing.
Berdasarkan
pada hal-hal tersebut, maka wajarlah apabila terdapat perbedaanpandangan
mengenai keberlakuan Hukum Persaingan Suatu Negara pada wargaNegara atau pelaku
usaha Negara lainnya.Pasal 16 UU No. 5 Tahun 1999 menyebutkan bahwa pelaku
usaha dilarangmembuat perjanjian dengan pihak lain di luar negeri yang memuat
ketentuan yangdapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau
persaingan usaha tidaksehat. Dapat dikatakan pasal ini mengatur suatu keadaan
khusus apabila pelakuusaha di dalam negeri melakukan perjanjian dengan pihak
pelaku usaha di luar negeri.
Contoh kasus ; Kasus Temasek ini merupakan kasus kedua yang
memberlakukan HukumPersaingan Usaha Indonesia terhadap perusahaan yang
didirikan, berkedudukan dan melakukan kegiatan bisnisnya melalui wilayah di
luar negara Republik Indonesiaadalah perkara No. 07/KPPU-L/2007 atau yang lebih
dikenal dengan Kasus Temasek.Dalam kasus ini yang menjadi terlapor dan berada
di luar negeri adalah delapanperusahaan yang berada di Singapore dan satu
perusahaan yang berada di Mauritiusyaitu; Temasek Holding Pte.Ltd., Singapore,
Singapore Technologies Telemedia Pte.Ltd., Singapore, STT Communications Ltd,
Singapore, Asia Mobile Holding Pte.Ltd., Singapore, Asia Mobile Holding
Pte.Ltd., Singapore, Indonesian CommunicationLimited, Mauritius, Indonesian
Communication Pte.Ltd., Singapore, SingaporeTelecommunication Ltd., Singapore,
dan Singapore Telecom Mobile Pte.Ltd., Singapore.Kesemua perusahaan ini dikenal
dengan Temasek Group atau Kelompok Temasek.Kelompok Temasek melalui anak
perusahaannya yaitu STT memilikisaham sebesar 41,94% saham pada PT. Indosat,
dan melalui Singtel memilikisaham sebesar 35% pada PT. Teleksel. Kelompok
Temasek oleh Komisi PengawasPersaingan Usaha kemudian dinyatakan bersalah
melanggar Pasal 27 a. karenatelah melakukan kepemilikan silang terhadap
Telkomsel dan Indosat sehinggamengakibatkan dampak anti persaingan usaha dalam
pelayanan telekomunikasiseluler di Indonesia. Temasek juga dinyatakan melanggar
Pasal 17 ayat 1 karenamelaksanakan hambatan interkoneksi dan mempertahankan
harga tinggi sehinggamenyebabkan dampak anti persaingan usaha.Kelompok Temasek
mendalilkan bahwa KPPU tidak berwenang memeriksaKelompok Temasek karena
didirikan bukan berdasarkan Hukum Indonesia dan tidak melakukan aktivitasnya di
Indonesia. Hal ini diperkuat dengan pendapat Hikmahanto Juwana yang menyatakan
bahwa KPPU tidak dapat menggunakan yurisdiksi teritorial karena hukum Indonesia
tidak mengakui konsep ekonomi tunggal. Lebih lanjutbeliau menyatakan bahwa KPPU
juga tidak dapat menggunakan yurisdiksi personalkarena STT tidak didirikan
berdasarkan hukum Indonesia dan bukanlah suatuentitas Indonesia. KPPU juga
tidak dapat menggunakan yurisdiksi universal olehkarena yurisdiksi tersebut
hanya berlaku terbatas pada kejahatan internasional. Namun KPPU berpendapat
bahwa KPPU berwenang melakukan pemeriksaanterhadap Kelompok Temasek yang pada
intinya dengan alasan, diantaranya; bahwaKelompok Temasek adalah badan usaha
sehingga memenuhi unsur setiap orangatau badan usaha sebagaimana dirumuskan
dalam Pasal 1 poin 5 UU No. 5Tahun 1999, yang berdasarkan pada prinsip “single
economic entity doctrine” dinyatakan bahwa hubungan induk perusahaan
dengan anak perusahaan dimanaanak perusahaan tidak mempunyai independensi untuk
menentukan arah kebijakanperusahaan. Konsekuensi dari prinsip ini, maka pelaku
usaha dapat dimintakanpertanggung jawaban atas tindakan yang dilakukan oleh
pelaku usaha lain dalamsatu kesatuan ekonomi, meskipun pelaku usaha yang
pertama beroperasi di luaryurisdiksi Hukum Persaingan Usaha suatu negara,
sehingga hukum persainganusaha dapat bersifat extraterritorial
Daftar
pustaka ;
·
Kusumawati lanny. (2010). Aspek hukum dalam persaingan
usaha. Surabaya. Laros
·
Undang Undang republik indonesia nomor 5 tahun 1999
·
http://dizclusters.wordpress.com/2012/01/07/pengerian-pasar-oligopoli-monopoli/ 16/12/2012
(22.00)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar