Senin, 06 Januari 2020

Analisis Konflik dan kepentingan Laut China Selatan



Sejak ratusan tahun silam Laut cina selatan sudah menciptakan ketegangan, mulai dari jalur perdagangan yang sering dilewati oleh kapal dagang hingga sumber daya alam yang melimpah,  dikutip dari Tirto.id Nilai perdagangan di jalur ini diperkirakan lebih dari 5 triliun dolar AS per tahun, dan cadangan minyak bumi yang tersimpan sebesar 11 miliar barel serta gas alam mencapai 190 triliun kaki kubik hal hal ini lah yang menjadi sumber perebutan wilayah laut cina selatan.

Pada dasarnya wilayah tiongkok sangat jauh dari kepulauan natuna, namun Tiongkok mengklaim wilayah tersebut berdasarkan Nine dash line yang mereka klaim sepihak, dikutip dari South China Morning Post (12/07/2016), jalur ini membentang sejauh 2.000 km dari daratan China hingga beberapa ratus kilometer dari Filipina, Malaysia, dan Vietnam. Pada 1947, China yang masih dikuasasi oleh Partai Kuomintang pimpinan Chiang Kai Sek memulai klaim teritorialnya atas Laut China Selatan. 

Angkatan laut China menguasai beberapa pulau di Laut China Selatan yang telah diduduki oleh Jepang selama perang dunia kedua. Saat itu, pemerintah Kuomintang menciptakan garis demarkasi di peta China berupa 11 garis putus-putus atau disebut sebagai "Eleven-Dash Line". 

Pada 1949, Republik Rakyat China didirikan dan pasukan Kuomintang melarikan diri ke Taiwan.  Selanjutnya, Pemerintah Komunis menyatakan diri sebagai satu-satunya perwakilan sah China dan mewarisi semua klaim maritim bangsa di wilayah tersebut. Tapi, pada awal 1950-an, dua garis putus-putus dihapus dengan mengeluarkan Teluk Tonkin sebagai isyarat untuk kawan-kawan komunis di Vietnam Utara, Sehingga namanya pun berubah dari menjadi Nine-Dash Line

            Tiongkok, mengklaim bahwa perairan ZEE utara natuna tumpang tindih dengan nine dash line atau tradisional fishing zone  dari tiongkok,  menarik apabila ditinjau dari konvensi Hukum Laut Internasional 1982, ZEE (Zona Ekonomi Ekslusif) dalam pasal 57 tentang ZEE, Zona ekonomi eksklusif tidak boleh melebihi 200 mil laut dari garis pangkal darimana lebar laut teritorial diukur, sedangkan Nine dash line atau traditional fishing zone yang dikeluarkan pemerintah tiongkok tidak memiliki payung Hukum dalam Konvensi Hukum laut Internasional, berdasarkan hal tersebut secara Hukum Keberadaan nelayan-nelayan China atau negara lain 200 mil laut dari pulau Natuna dan keberadaanya untuk mengekploitasi wilayah tersebut harus tunduk pada aturan Pasal 58 UNCLOS dalam ayat 3 yang berbunyi harus mentaati peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Negara pantai sesuai dengan ketentuan Konvensi ini dan peraturan hukum internsional lainnya sepanjang ketentuan tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan Bab ini.

 Indonesia memiliki Hak berdaulat pada Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan Landas Kontinen pada Perairan tersebut. ZEE adalah kawasan yang berjarak 200 mil dari pulau terluar. Di kawasan ZEE ini, Indonesia berhak untuk memanfaatkan segala potensi sumber daya alam yang ada, termasuk ikan. Terkait wilayah ZEE Di Natuna Menurut guru besar Universitas Indonesia dalam wawancara di stasiun Tv swasta “Memang di wilayah tersebut adalah wilayah laut lepas, tidak dimiliki negara. Tetapi sumber daya alam yang di dalam Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen diberikan kepada negara pantai. Di situlah kemudian Indonesia mengelola sumber daya alam yang ada di situ. Dan apabila ada kapal negara lain yang ingin mengambil ikan di situ, tentu harus meminta izin kepada Indonesia. Nah, sovereign right ini yang dipermasalahkan Cina”.

Menjaga kedaulatan tetapi tidak memancing peperangan, Kehadiran Militer Indonesia Di Natuna sangat penting, kehilangan sipadan dan ligitan merupakan tamaparan kepada pemerintah Indonesia untuk tidak menyepelekan permasalahan permasalah batas wilayah dengan negara lain, meskipun diplomasi merupakan yang diutamakan namun tidak tidak dengan tangan kosong, dalam strategi militer Teori diterensi sudah umum digunakan, yakni persenjataan harus disiagakan dan tidak pernah digunakan, Dalam tulisan klasik Thomas Schelling (1966) tentang deterensi, ia memaparkan konsep bahwa strategi militer tidak bisa lagi dijadikan standar kemenangan militer. Ia berpendapat bahwa strategi militer saat ini lebih mengarah ke seni koersi atau intimidasi dan deterensi. Selain itu masih ingat salah satu sumber putusan lepasnya Sipadan dan Ligitan adalah tidak adanya kehadiran pemerintah Indonesia di kedua pulau tersebut.

Ekonomi dan kedaulatan, sebelumnya Diketahui pemerintah Tiongkok dan Indonesia memiliki banyak perjanjian investasi berdasarkan dari Kompas.com China pada 2019 menduduki peringkat ke 3 negara dengan investasi terbesar di Indonesia dengan nilai investasi sebesar 2,3 miliar dollar AS atau 16,2 persen dari total PMA Dan Berdasarkan data statistik utang luar negeri Indonesia (SULNI) yang dirilis Bank Indonesia (BI) periode terbaru, yakni per September 2019 menurut negara pemberi kredit, utang Indonesia yang berasal dari China tercatat sebesar 17,75 miliar dollar AS atau setara Rp 274 triliun (kurs Rp 13.940), dua hal tersebut menggambarkan bagaimana ketergantungan Indonesia kepada Tiongkok namun jangan sampai hal tersebut membuat Indonesia melunak kepada pemerintah tiongkok, hal ini dakrenakan masalah ekonomi dan kedaulatan negara adalah dua hal yang harus dipisahkan, namun hal ini merupakan sinyal merah yang perlu diwaspadai pemerintah Indonesia,  mengutip salah satu kejadian di Zimbabwe dimana Zimbabwe harus rela mengganti mata uang menjadi yuan yang mencapai 40 juta dollar amerika, di zaman modern saat ini dikenal dengan penjajahan gaya baru yakni dengan cara memberikan hutang, seperti cara para rentenir Hutang menjadi sarana yang ampuh dalam melemahkan suatu negara, cara china ini dalam dunia internasional dikenal dengan Debt-Trap diplomacy, Mengambil sumber dari Wikipedia Diplomasi jebakan utang atau debt-trap diplomacy adalah jenis diplomasi yang didasari oleh utang-piutang dalam sebuah hubungan bilateral antarnegara. Diplomasi ini melibatkan suatu negara pemberi utang yang secara sengaja memperpanjang kredit berlebihan ke negara penerima utang. Hal ini diduga dilakukan supaya negara pemberi utang dapat memperoleh konsesi ekonomi atau politik dari negara pengutang ketika negara tersebut tidak dapat memenuhi kewajiban utangnya (seringkali pinjaman berbasis aset, termasuk infrastruktur). Persyaratan pinjaman sering kali tidak diumumkan ke masyarakat dan uang pinjaman biasanya digunakan untuk membayar kontraktor dari negara pemberi utang, selain Zimbabwe Salah satu contoh yang paling sering disebutkan dari dugaan diplomasi perangkap utang oleh Tiongkok adalah pinjaman yang diberikan kepada pemerintah Sri Lanka oleh Bank Exim China untuk membangun Pelabuhan Magampura Mahinda Rajapaksa dan Bandara Internasional Mattala Rajapaksa.

Kesimpulannya, posisi Indonesia berada diatas angin, mengingat pernyataan Tiongkok yang menyebutkan bahwa Tidak ada  tumpang tindih wilayah ZEE Indonesia dengan posisi nine dash line milik pemerintah tiongkok, kalaupun pemerintah tiongkok meralat pernyataan tersebut putusan Mahkamah arbitrase internasional pada tahun 2016 telah memberikan putusan bahwa klaim china berdasar Nine dash line oleh pemerintah Tiongkok tidak memiliki dasar, meskipun pemerintah Tiongkok sendiri memboikot mahkamah tersebut dan menyatakan bahwa mahkamah tersebut tidak memiliki Yuridiksi, namun  putusan tersebut membawa posisi Indonesia berada di atas angin pada permasalahan ini, namun meskipun posisi Indonesia berada diatas angin tidak harus membuat Indonesia terlena, kehadiran Militer di Indonesia mengirimkan pesan kepada pemerintah Tiongkok bahwa Indonesia tidak main main terkait masalah kedaulatan negara meskipun Indoesia dan tiongkok memiliki kemesraan dalam bidang ekonomi dan investasi tidak bisa merubah pandangan negara terkait kedaulatan, Penguatan Militer Indonesia yang digagas oleh presiden ke 6 Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono, Penguatan Militer Indonesia tersebut dikenal dengan istilah Minimum Essential Force (MEF) kini terlihat manfaatnya, terkait dengan konflik di natuna kehadiran Hulubalang-Hulubalang terbaru Republik Indonesia akan menimbulkan Diterent Factor bagi negara yang mencoba mengusik Garuda yang sedang Istirahat.


Senin, 16 April 2018

Analisis keikutsertaan kontingen Rusia di Suriah



Mengapa Rusia harus repot-repot berperang di Negara yang secara geografis tidak berbatasan langsung dengannya, faktanya hampir  lebih 2 tahun Rusia mengirim pasukan udaranya untuk memberantas ISIS di Suriah Kampanye militer Rusia di Suriah telah berlangsung sejak 30 September 2015.

Pasukan Kedirgantaraan Rusia melancarkan serangan udara terhadap ISIS serta kelompok teroris lainnya yang menentang pemerintah Suriah, bila dikalkulasikan secara kasar Lembaga analisa dan riset militer, IHS Jane, memperkirakan  pengeluaran kremlin untuk suriah selama 6 bulan terakhir berkisar $ 2milyar dengan hitung hitungan biaya perbulan mencapai $80 juta sampai $120 juta, dan estimasi biaya harian Moscow mengahbiskan sekitar $710 ribu agar armada udara nya bisa menggelar oprasi militer, biaya itu belum termasuk harga untuk amunisi yang bisa mencapai $750 ribu per hari, dengan pemecahan Putin mengerahkan 73 jet tempur pembom tipe Tupolev dan Sukhoi, serta 20 helikopter tempur tipe Mi-series. IHS melansir, biaya mengudara armada tempur ini berkisar $12 ribu per jam untuk pesawat dan $3.000 per jam untuk helikopter. 

Sedangkan Untuk menerbangkan 4.000 personel militer ke Suriah, Rusia membutuhkan dana sekitar $440.000 per hari. Untuk biaya operasional bagi armada laut yang berjaga di Laut Mediterania dan Kaspia, Rusia mengeluarkan kocek sekitar $200.000. Biaya untuk logistik, intelejen, dan komunikasi mencapai $250 ribu. Jika ditotal, pengeluaran harian Rusia di Suriah mencapai $2,4 juta, Menurut Ben Moores, analis senior di IHS, angka ini baru estimasi kasar. Biaya riil yang dikeluarkan Moskow per hari bisa mencapai dua kali lipat hingga $4,8 juta. Angka ini tak berbeda jauh dari pengakuan pejabat pertahanan Rusia pada The Moscow Times. Pejabat ini mengaku uang dari Kremlin untuk melindungi Damaskus mencapai $4 juta per hari.. 

Dengan biaya yang fantastis ini tidak mungkin puttin tidak memiliki maksud khusus, ada beberapa kemungkinan yang menjadi dasar rusia melakuakan kampanye militer di suriah antara lain menurut berbagai sumber;

Membuat barat kesal

            Keputusan Rusia membantu Assad di konflik Suriah pun bisa dianggap sekadar menjadikannya proksi dalam persaingannya dengan Barat. Adagium “musuhmu adalah kawanku” betul-betul diterapkan Putin. Posisi Rusia dalam kancah politik internasional kini memang disorot. Selain di Suriah, intervensi Putin di konflik Ukraina dengan menganeksasi Krimea dan dukungan senjata bagi para pemberontak di timur Ukraina membuat mereka dikucilkan dunia Barat. Sejak 2014 lalu, koalisi Barat yang dipimpin Uni Eropa dan Amerika Serikat sepakat untuk mengembargo total Rusia di berbagai bidang. 

Ingin kembali dianggap berkuasa

Puttin  menunjukkan kepada dunia bahwa aksi militer yang keras dapat mengubah kebijakan AS, dan memaksa AS untuk memberi Rusia status digdaya yang didambakannya," kata Keir Giles, ahli kebijakan pertahanan Eurasia dari Chatham House,

Giles menganggap kebijakan Obama-lah yang memungkinkan Putin melenggang masuk ke Suriah. Sikap Amerika yang tak mau secara serius terlibat di perang Suriah membuat kevakuman kekuasaan itu cepat diisi oleh Rusia. Sehingga status digdaya yang sempat luntur bersama keruntuhan uni soviet kembali di genggam,

Uji coba militer dan pamer senjata baru

            Dalam medan laga Suriah kali ini masing masing kubu baik Amerika dan sekutunya maupun Rusia masing masing mengusung hulubalang terbaru terbaik dan termutakhir, terakhir adu kuat rudal jelajah tomahawk milik Amerika harus berhadapan dengan pertahanan udara terbaru Rusia S-400 yang diklaim mampu merontokan semua bahaya yang mengancam dari udara,

Selain unjuk kekuatan, perang berskala besar juga merupakan kesempatan emas untuk menunjukkan persenjataan baru pada calon pembeli. Contohnya adalah saat Rusia berhasil menguji coba rudal jelajah 3M-14 dari laut Kaspia menuju Suriah, yang jaraknya lebih dari 1.500 km. Berdasarkan perjanjian internasional, jika tak dipakai untuk perang, rudal hanya boleh dipakai untuk radius maksimal 300 km. 
            Di Suriah jugalah pesawat jet Sukhoi SU-30 dan SU-35S mencicipi medan perang sesungguhnya. Dua jenis pesawat tempur ini sudah dijual ke 11 negara, termasuk Indonesia.

Akhir kata harapan kita cukuplah  Sang Beruang menunjukkan ototnya ke hadapan dunia sebagai negara adidaya sekaligus mempromosikan dagangan militernya. Karna pada dasarnya, upaya promosi  itu dibayar cukup mahal dengan kematian 1.984 orang.


Sumber :


Minggu, 15 April 2018

Analisis konflik Suriah

Cold War in modern warfare


Situasi di wilayah timur tengah semakin memanas sejak Presiden Amerika Donald trump mengungkapkan keinginannya untuk menyerang siria, seperti yang dikutip dari siaran berita ABC Amerika inggris dan prancis akan menyalurkan serangan presisi ke wilayah suriah, "Beberapa waktu yang lalu, saya memerintahkan Angkatan Bersenjata Amerika Serikat untuk meluncurkan serangan presisi pada target yang terkait dengan kemampuan senjata kimia diktator Suriah Bashar al-Assad," kata Trump,seperti dikutip ABC, Sabtu (14/4/2018). trump juga menambahkan Operasi gabungan dengan Angkatan Bersenjata Prancis dan Inggris sekarang sedang berlangsung," Washington menuduh bashar asaad menggunakan senjata kimia dalam serangan di kota yang dikuasai pemberontah, Douma, pada hari Sabtu (07/04). pada serangan yang menewaskan puluhan orang tersebut  Pemerintah Inggris menyerukan investigasi sesegera mungkin. 
Para relawan pasukan penyelamat Helm Putih (White Helmets) mencuitkan foto yang menunjukkan sejumlah mayat di dalam ruang bawah tanah. Organisasi itu juga menyebutkan jumlah korban tewas kemungkinan meningkat.

Pemerintah Suriah menyebutkan tuduhan adanya serangan zat kimia itu merupakan "isapan jempol", Baik Suriah maupun Rusia sama-sama membantah telah memakai senjata kimia. 


Dikutip dari portal berita sindonews Seorang pejabat lembaga penelitian ilmiah Suriah membantah memiliki fasilitas senjata kimia. Lembaga penelitian ilmiah Suriah adalah salah satu fasilitas yang terkena serangan rudal pimpinan Amerika Serikat (AS) pada akhir pekan lalu.

Kepala Institut Pengembangan Industri Farmasi dan Kimia, Saeed Saeed mengatakan, pusat penelitian itu digunakan oleh Organisasi untuk Larangan Senjata Kimia (OPCW) pada 2013.

"OPCW telah mengunjungi gedung ini sejak 2013 hingga baru-baru ini dan melakukan pemeriksaan," katanya kepada wartawan setelah serangan yang menghancurkan fasilitas.

"Bangunan itu adalah basis kerja, di mana para ahli OPCW melakukan misi di Suriah. Mereka akan membawa semua sampel yang dicurigai dari lokasi yang berbeda ke gedung ini dan mereka telah mengeluarkan dua laporan yang menyatakan bahwa bangunan ini kosong dari bahan kimia untuk peperangan apa pun," tambahnya seperti dikutip dari Xinhua, Senin (16/4/2018).

Terlepas dari benar tidak nya suriah menggunakan senjata kimia untuk melawan pemberontak , Amerika telah melancarkan serangan nya ke wilayah suriah, lebih dari 100 rudal tomahawk yang harga perunitnya mencapai 25,7 milyar rupiah menghujani wilayah suriah, namun Rusia yang merupakan sekutu terkuat asaad telah bersiap dengan menyiagakan sistem pertahanan udara tercanggihnya yakni S-400 ditambah termasuk S-125, S-200, 2K12 Kub dan Buk untuk menghalau serangan udara Amerika. Moscow mengklaim melalui Pejabat senior militer Rusia mengatakan pertahanan udara Suriah telah mencegat sedikitnya 71 rudal jelajah yang ditembakkan pasukan Amerika Serikat (AS), Inggris, dan Prancis, namun di kubu lain Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump melemparkan pujian atas serangan yang dilakukan militer AS di Suriah. Dia menyebut serangan tersebut berjalan sangat sempurna, sesuai dengan yang direncanakan.

Melalui akun Twitternya, Trump juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Prancis dan Inggris, karena turut membantu AS dalam melakukan serangan terhadap fasilitas militer Suriah.

Saling klaim mewarnai konflik suriah kubu Amerika dan koalisinya serta kubu suriah dibantu sekutu terkuatnya Rusia merasa paling sukses dalam menjalankan misinya masing- masing
terlepas dari itu semua tindakan Amerika  menyerang siria sebelum hasil investigasi dari PBB tentang penggunaan senjata kimia oleh pemerintah siria di umumkan tidak dapat dibenarkan, 

Akan tetapi apabila tindakan siria terbukti menggunakan senjata kimia maka dewan keamanan PBB harus menjalankan sanksi tegas kepadanya karna dalam Hukum Humaniter mengenal adanya Prinsip Pembatasan (Limitation Principle) prinsip pembatasan adalah suatu prinsip yang menghendaki adanya pembatasan terhadap sarana atau alat serta cara atau metode berperang yang dilakukan oleh pihak yang bersengketa, seperti adanya larangan penggunaan racun atau senjata beracun, larangan adanya penggunaan peluru dum-dum, atau larangan menggunakan suatu proyektil yang dapat menyebabkan luka-luka yang berlebihan dimana adanya larangan penggunaan senjata yang menimbulkan korban dan penderitaan berlebihan.

Diluar hal itu  opini penulis konflik suriah/ siria membawa berbagai macam kepentingan, salah satunya adalah perlombaan senjata, baik Amerika maupun Rusia mengusung hulubalang terbaiknya dalam konflik suriah kali ini, Amerika menggunakan rudal jelajah terbaiknya Tomahawk yang diklaim Presiden Donal Trump merupakan rudal Pintar berhadapan dengan pelindung udara S-400 andalan negara Beruang merah, belum lagi pertempuran udara pesawat Su-57 pak Fa yang diklaim Rusia sebagai pesawat generasi ke 5 akan membuktikan battle proven nya melawan F-22 Raptor maupun F-35 lightning

yang kedua menurut opini penulis perbutuan wilayah dan pengaruh kekuasaan juga mendasari kepentingan dua negara adikuasa ini untuk ikut terlibat dalam konflik ini, Rusia yang memiliki pangkalan militer di suriah tidak ingin kehilangan pengaruhnya di timur tengah, apabila pemerintahan asaad terjatuh sudah pasti pihaknya harus angkat kaki dari wilayah suriah. 

kita berharap konflik di suriah segera berakhir dan perdamain akan segera tercapai.  


Senin, 11 November 2013

analisis perbatasan republik Indonesia dan malaysia



1.Latar belakang
Hubungan dua bangsa serumpun Indonesia-Malaysia kini tengah mencapai titik paling kritis. Sejak Petronas, perusahaan minyak milik Malaysia, memberikan konsesi pengeboran minyak di lepas pantai Sulawesi yaitu di Blok Ambalat kepada Shell (perusahaan milik Inggris dan Belanda), hubungan kedua negara tetangga tersebut mengalami ketegangan yang mencemaskan. sudah beberapa kali kapal-kapal perang RI dan Malaysia berhadap-hadapan, nyaris baku tembak. Untung keduanya masih menahan diri. Seandainya salah satu pihak menembak, niscaya perang terbuka akan meletus. Jika sudah demikian, hubungan RI-Malaysia pun akan makin tegang dan menyeret konflik yang lebih luas.Yang menjadi pertanyaan kita: kenapa Malaysia punya sikap senekat itu tanpa mengindahkan tatakrama hubungan antarnegara ASEAN? Pertanyaan itu agaknya tak mudah dijawab. Banyak hal yang menyebabkan kenapa negeri jiran itu tiba-tiba berambisi menduduki Ambalat. Salah satunya, karena di Blok Ambalat terkandung minyak dan gas bumi yang nilainya amat besar, mencapai miliaran dolar. Tapi ada alasan lain yang tampaknya menjadi pertimbangan dalam pendudukan Ambalat: Indonesia tengah mengalami krisis kepercayaan, korupsi, dan pengikisan dari dalam sehingga posisi Indonesia jika berkonflik dengan Malaysia niscaya kalah! Malaysia secara geografis dan populasi memang kecil, bukan tandingan Indonesia. Tapi dilihat secara militer khususnya jumlah peralatan militer canggih Malaysia unggul dibanding Indonesia. Malaysia punya uang, tak punya utang, dan sewaktu-waktu bisa membeli peralatan militer secara kontan. Jadi meski secara kuantitas dia kecil, tapi secara kualitas dia besar.
Kasus Ambalat secara tiba-tiba menyadarkan kita dari mabuk eforia dan terlena oleh berbagai permasalahan dalam negeri yang belum menemukan solusinya (inward looking) bahwa selain itu kita juga perlu menaruh perhatian kita terhadap masalah yang datang dari luar (outward looking). Akibat dari keterlambatan kita dalam menghadapi sesuatu akan memuat kita gelagapan dan dengan setengah sadar menghadapinya. Seperti halnya apa yang sedang hangat dewasa ini kita hadapi yaitu munculnya klaim Malaysia terhadap Blok Ambalat di Laut Sulawesi. Reaksi kita seperti orang yang dibangunkan dari tidur secara tiba-tiba --gelagapan, kita berobicara seperti setengah sadar dan dengan penuh emosional. Keluarlah kata-kata, ganyang Malaysia, serang Malaysia, hancurkan Malaysia, dan kata-kata keras lainnya. Dan secara tidak sadar pula tiba-tiba kita menyatakan bahwa kita membutuhkan TNI yang kuat agar TNI memberikan pukulan yang mematikan, agar TNI tidak ragu-ragu menghajar Malaysia, dan sebagainya.Demikian juga sebenarnya dalam menghadapi kasus Ambalat ini. Jelas bahwa kita wajib mempertahankan kedaulatan dan integritas tanah air kita, tidak sejengkal pun boleh jatuh ke tangan asing. Namun kebijaksanaan dan tindakan kita tetap harus rasional, proporsional, profesional, dan penuh kearifan. Sebelum menggunakan jalan kekerasan atau kekuatan militer (forcible means) sebagai jalan terakhir, sebaiknya tempuh dulu cara-cara damai atau diplomasi (peaceful means).Penyelesaian secara politis dengan mendahulukan perundingan melalui saluran-saluran diplomatisakan lebih baik. Memang jalan ini memerlukan kesabaran dan waktu, namun hasilnya akan jauh lebih baik bagi semua pihak ketimbang melalui jalan perang
2.Pembahasan
Menyikapi kasus Ambalat, yang perlu kita lakukan dengan segera adalah manuver-manuver politik oleh para diplomat kita dengan penuh percaya diri, keluwesan, dan keberanian. Apa yang dilakukan oleh TNI Angkatan Laut dan TNI Angkatan Udara pada saat sekarang sudah tepat dan harus terus ditingkatkan sebagai back up terhadap usaha-usaha diplomasi. Semua manuver atau "show of force" tersebut kita lakukan dalam rangka pertahanan negara, menjaga integritas dan kedaulatan negara dan aneksasi oleh negara asing, bukan untuk melakukan penyerangan karenakita bukan negara agresor. "Show of force" tersebut penting sekali sebagai tekanan psikologis kepada pihak Malaysia agar dapat menyelesaikan kasus tersebut melalui jalan perundingan dengan cepat, dan tidak berdasarkan ambisi dan keserakahan karena merasa sudah lebih kuat. Belajar dari kasus Sipadan dan Ligitan, karena kurang sabar melakukan usaha-usaha penyelesaian secara politis, melalui jalan diplomasi kasus itu berakhir dengan hasilyang sangat mengecewakan. Kalau saja kita tidak terburu-buru membawa kasus tersebut ke Mahkamah Internasional, dan kita lebih intensif melakukan perundingan-perundingan didukung oleh "show of force" TNI Angkatan Laut dengan patroli laut secara reguler dan singgah di kedua pulau tersbeut, atau menempatkan petugas administratifkita di sana, tentu hasilnya akan lain. Apalagi bila disertai dengan alasan-alasan politis lainnya (semangat ASEAN, keamanan regional, dan sebagainya) maka kedua pulau tersebut belum tentu menjadi milikMalaysia, paling tidak satu pulau akan tetap milik kita.
Dalam kasus Ambalat pun kita harus hati-hati menyelesaikan masalah ini. Penyelesaiannya harus ditinjau dari berbagai aspek, khususnya hukum laut internasional sesuai dengan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UN Convention on the Law of the Sea, 1982) dan perjanjian bilateral antara kedua pihak. Bila menyelesaikan kasus ini langsung dengan jalan kekerasan (perang), dampaknyaakan berat bagi Indonesia baik dari segi politik internasional maupun dari segi beban dalam negeri, khususnya dalam bidang perekonomian negara. Penyelesaian melalui perundingan yang diakhiri dengan persetujuan secara tertulis, baik secara langsung atau dengan mediasi, akan memiliki kekuatan hukum secara lebih pasti Reaksi keras dari pemerintah dan masyarakat bisa dipahami karena belum lagi sembuh luka bangsa Indonesia dengan terlepasnya dua pulau Sipadan dan Ligitan ke tangan Malaysia, kini Malaysia mencoba ‘merebut’ wilayah lain yang diyakini sebagai wilayah Indonesia. Meskipun secara historis kedua pulau tersebut juga bagian dari Kesultanan Bulungan, toh akhirnya International Court of Justice (ICJ) memenangkan Malaysia. Keputusan ini, salah satunya, karena Pemerintah Indonesia terbukti gagal memberi perhatian kepada pengelolaan lingkungan kedua pulau tersebut. Akankah si kaya minyak Ambalat bernasib sama dengan kedua kakaknya, Sipadan dan Ligitan? Nampaknya PemerintahIndonesia perlu berjuang ekstra keras dan luar biasa hati-hati dalam menghadapi persoalan ini. Untuk menyelesaikan persoalan klaim yang tumpang tindih ini, harus dilihat kembali rangkaian proses negosiasi antara kedua negara berkaitan dengan penyelesaian perbatasan di Pulau Kalimantanyang sesungguhnya telah dimulai sejak tahun 1974 (menurut Departeman Luar Negeri). Diketahui secara luas bahwa Perbatasan Indonesia-Malaysia di Laut Sulawesi, di mana Ambalat berada, memang belum terselesaikan secara tuntas. Ketidaktuntasan ini sesungguhnya sudah berbuah kekalahan ketika Sipadan dan Ligitan dipersoalkan dan akhirnya dimenangkan oleh Malaysia. Jika memang belum pernah dicapai kesepakatan yang secara eksplisit berkaitan dengan Ambalat maka perlu dirujuk kembali Konvensi Batas Negara tahun 1891 yang ditandatangani oleh Belanda dan Inggris sebagai penguasa di daerah tersebut di masa kolinialisasi. Konvensi ini tentu saja menjadisalah satu acuan utama dalam penentuan perbatasan antara Indonesia dan Malaysia di Kalimantan. Perlu diteliti apakah Konvensi tersebut secara eksplisit memuat/mengatur kepemilikan Ambalat. Hal ini sama halnya dengan penggunaan Traktat 1904 dalam penegasan perbatasan RI dengan Timor Leste




3.Pertanyaan tentang fakta dan hukum
1.Apakah dasar yang di miliki malaysia sehingga melakukan klaim akan blok ambalat?
2. Apakah berhak malaysia mengklaim blok ambalat yang kaya akan minyak itu?
3. Bagaimana awal mula persengketaan blok ambalat antar dua negara serumpun ini?
4.Apa bentuk aksi sepihak yang dilakukan malaysia sehingga memancing kemarahan rakyat indonesia
5. Apakah aksi sepihak yang dilakukan malaysia bisa dianggap sebagai pelanggaran internasional?
6. Potensi kekayaan alam di blok ambalat

4.Uraian pertanyaan
Dasar dilakukanya klaim malasia akan ambalat pernah di tegaskan oleh perdana menteri dan Menlu malaysia, Dalam sebuah artikel berjudul “Badawi: Konsesi Petronas Terletak di Malaysia” yang dimuat harian kompas edisi 1 maret 2005, Perdana Menteri Abdullah Badawi dan Menlu Syeh Hamid Albar menegaskan bahwa pihaknya tidak salah dalam melakukan uniteralisasi peta 1979, dan bahwa konsesi yang diberikan Petronas kepada Shell di perairan Laut Sulawesi berada di wilayah teritorial Malaysia.
Dapat kita lihat bahwa salah satu dasar klaim Malaysia terhadap blok Ambalat yang paling jelas adalah peta yang dikeluarkan oleh Malaysia secara unilateral pada tahun 1979 yang disebut Peta Baru 1979. Peta baru Malaysia 1979 terdiri atas 2 (dua) lembar peta namun dalam penulisan ini, pembahasan akan difokuskan pada lembar kedua peta baru Malaysia 1979 yang mencakup wilayah Malaysia di Utara Kalimantan.
Banyak ahli yang berpendapat bahwa peta baru 1979 lemah, Haller Trost misalnya, dalam tulisannya yang berjudul The Contested Maritime and Territorial Boundaries of Malaysia; An International Law Perspective menyebutkan bahwa peta ini memperlihatkan berbagai inkonsistensi terkait dengan kejelasan antara batas landas kontinen dan delimitasi laut territorial. Pada beberapa bagian delimitasi landas kontinen, ada batas yang sudah diatur oleh perjanjian internasional tetapi tidak digambarkan sebagai batas internasional, padahal sebagian besar perjanjian tersebut sudah diratifikasi sebelum peta tersebut dipublikasikan.
Peta baru Malaysia 1979 diduga kuat peta didasarkan pada ketentuan Konvensi 1958 (UNCLOS I), padahal dengan keluarnya United Nation Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982, peta baru Malaysia 1979 sudah tidak bisa diberlakukan lagi karena tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam konvensi ini. Pasal 311 United Nation Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 menyebutkan bahwa konvensi ini harus diutamakan dari konvensi-konvensi sebelumnya. Idealnya Malaysia mengeluarkan peta baru berdasarkan aturan UNCLOS 1982, namun begitu Malaysia tetap menyatakan bahwa Peta Baru Malaysia adalah peta nasional Malaysia.
Melalui Peta Baru 1979, Malaysia bahkan telah melanggar hak Indonesia sebagai negara kepulauan dalam hal penentuan baselines. Hal ini terkait dengan penentuan Karang Unarang sebagai salah satu basepoints Indonesia. Dalam Peta Baru 1979, Karang Unarang dimasukan dalam wilayah laut territorial Malaysia dan terletak di sebelah dalam garis yang dibentuk oleh TP 82 dan TP 81 dalam Peta Baru 1979.
Padahal Karang Unarang hanya berjarak 9 mil laut dari Pulau Sebatik sehingga jelas sekali bahwa Karang Unarang terletak di dalam sabuk 12 mil laut laut territorial Indonesia dimana Indonesia mempunyai kedaulatan penuh sesuai dengan ketentuan UNCLOS 1982. Selain itu, Karang Unarang merupakan elevasi pasang surut (low tide elevation) yang berhak dijadikan basepoints secara sah oleh Indonesia sesuai dengan Pasal 47 (4) UNCLOS 1982.
Apakah malaysia berhak untuk melakukan klaim atas blok ambalat?, Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu menggunakan dasar UNCLOS 1982 tadi. Nah, permasalahannya adalah, walaupun Indonesia dan Malaysia telah menandatangi dan meratifikasi UNCLOS dan mengklaim 12 mil territorial seas dan continental shelf dan juga EEZ (Exclusive Economic Zone) sejauh 200 mil, hanya satu pihak yang telah membuat klaim atas wilayah jurisdiksinya.
Negara Indonesia adalah negara kepulauan (archipelagic state) yang sudah lama diperjuangkan di forum internasional. Dalam UNCLOS 1982 pun, telah dicantumkan Bagian IV mengenai negara kepulauan. Konsepsi itu menyatukan wilayah kita. Di antara pulau-pulau kita tidak ada laut bebas, karena sebagai negara kepulauan, Indonesia boleh menarik garis pangkal dari titik-titik terluar pulau-pulau terluar. Hal itu diundangkan dengan UU No 6/1996 tentang Perairan Indonesia untuk menggantikan UU No 4/1960 sebagai implementasi UNCLOS 1982 dalam hukum nasional kita.
Namun, dalam UU No 6/1996 itu tidak ada peta garis batas Indonesia, yang ada hanya peta ilustratif. Padahal, menurut UNCLOS 1982, Indonesia harus membuat peta garis batas, yang memuat koordinat garis dasar sebagai titik ditariknya garis pangkal kepulauan Indonesia. Lalu timbul sengketa Sipadan-Ligitan, dan kita tergopoh-gopoh membuat Peraturan Pemerintah No. 38/2002, yang memuat titik-titik dasar termasuk di Pulau Sipadan-Ligitan. Tetapi PP itu harus direvisi karena ICJ (mahkamah international) memutuskan kedua pulau itu milik Malaysia.
Ada sebuah pendapat yang dinyatakan oleh seorang petinggi negara kita bahwa Malaysia bukanlah negara kepulauan sehingga tidak berhak atas laut teritorial. Ini pernyataan yang sangat keliru. Menurut Konvensi hukum laut, sebuah negara pantai (negara yang wilayah daratannya secara langsung bersentuhan dengan laut) berhak atas zona maritim laut teritorial, EEZ, dan landas kontinen sepanjang syarat-syarat (jarak dan geologis) memungkinkan. Dalam hal ini, tidak diragukan lagi bahwa Indonesia dan Malaysia yang sama-sama telah meratifikasi UNCLOS III memang berhak untuk mengklaim wilayah laut. Hanya saja, seperti dapat diduga, memang akan terjadi tumpang-tindih klaim antar kedua negara. Ambalat, di satu sisi, berada pada klaim tumpang tindih ini. Dengan demikian, Malaysia secara hukum memang berhak atas klaim tersebut.!
            Persoalan klaim diketahui setelah pada tahun 1967 dilakukan pertemuan teknis pertama kali mengenai hukum laut antara indonesia dan Malaysia. Kedua belah pihak bersepakat (kecuali Sipadan dan Ligitan diberlakukan sebagai keadaan status quo lihat: Sengketa Sipadan dan Ligitan). Pada tanggal 27 Oktober 1969 dilakukan penandatanganan perjanjian antara Indonesia dan Malaysia, yang disebut sebagai Perjanjian Tapal Batas Kontinental Indonesia - Malaysia, kedua negara masing-masing melakukan ratifikasi pada 7 November 1969, tak lama berselang masih pada tahun 1969 Malaysia membuat peta baru yang memasukan pulau Sipadan, Ligitan dan Batu Puteh (Pedra blanca) tentunya hal ini membingungkan Indonesia dan Singapura dan pada akhirnya Indonesia maupun Singapura tidak mengakui peta baru Malaysia tersebut. Kemudian pada tanggal 17 Maret 1970 kembali ditanda tangani Persetujuan Tapal batas Laut Indonesia dan Malaysia. Akan tetapi pada tahun 1979 pihak Malaysia membuat peta baru mengenai tapal batas kontinental dan maritim dengan yang secara sepihak membuat perbatasan maritimnya sendiri dengan memasukan blok maritim Ambalat ke dalam wilayahnya yaitu dengan memajukan koordinat 4° 10' arah utara melewati Pulau Sebatik. Indonesia memprotes dan menyatakan tidak mengakui klaim itu, merujuk pada Perjanjian Tapal Batas Kontinental Indonesia - Malaysia tahun 1969 dan Persetujuan Tapal batas Laut Indonesia dan Malaysia tahun 1970. Indonesia melihatnya sebagai usaha secara terus-menerus dari pihak Malaysia untuk melakukan ekspansi terhadap wilayah Indonesia. Kasus ini meningkat profilnya setelah Pulau Sipadan dan Ligitan, juga berada di blok Ambalat, dinyatakan sebagai bagian dari Malaysia oleh Mahkamah Internasional.
Bentuk bentuk aksi sepihak malaysia di blok ambalat:
 Tgl 21 Februari 2005 di Takat Unarang {nama resmi Karang Unarang) Sebanyak 17 pekerja Indonesia ditangkap oleh awak kapal perang Malaysia KD Sri Malaka,
* Angkatan laut Malaysia mengejar nelayan Indonesia keluar Ambalat.
* Malaysia dan Indonesia memberikan hak menambang ke Shell, Unocal dan ENI.
* Pada koordinat: [Tunjukkan letak di peta interaktif] 4°6′03.59″N 118°37′43.52″E / 4.1009972°N 118.6287556°E / 4.1009972; 118.6287556 terjadi ketegangan yang melibatkan kapal perang pihak Malaysia KD Sri Johor, KD Buang dan Kota Baharu berikut dua kapal patroli sedangkan kapal perang dari pihak Indonesia melibatkan KRI Wiratno, KRI Tongkol, KRI Tedong Naga KRI K.S. Tubun, KRI Nuku dan KRI Singa yang kemudian terjadi Insiden Penyerempetan Kapal RI dan Malaysia 2005, yaitu peristiwa pada tgl. 8 April 2005 Kapal Republik Indonesia Tedong Naga (Indonesia) yang menyerempet Kapal Diraja Rencong (Malaysia) sebanyak tiga kali, akan tetapi tidak pernah terjadi tembak-menembak karena adanya Surat Keputusan Panglima TNI Nomor: Skep/158/IV/2005 tanggal 21 April 2005 bahwa pada masa damai, unsur TNI AL di wilayah perbatasan RI-Malaysia harus bersikap kedepankan perdamaian dan TNI AL hanya diperbolehkan melepaskan tembakan bilamana setelah diawali adanya tembakan dari pihak Malaysia terlebih dahulu.
* Shamsudin Bardan, Ketua Eksekutif Persekutuan Majikan-majikan Malaysia (MEF) menganjurkan agar warga Malaysia mengurangi pemakaian tenaga kerja berasal dari Indonesia
* Pihak Indonesia mengklaim adanya 35 kali pelanggaran perbatasan oleh Malaysia.
* Tgl 24 Februari 2007 pukul 10.00 WITA, yakni kapal perang Malaysia KD Budiman dengan kecepatan 10 knot memasuki wilayah Republik Indonesia sejauh satu mil laut, pada sore harinya, pukul 15.00 WITA, kapal perang KD Sri Perlis melintas dengan kecepatan 10 knot memasuki wilayah Republik Indonesia sejauh dua mil laut yang setelah itu dibayang-bayangi KRI Welang, kedua kapal berhasil diusir keluar wilayah Republik Indonesia.
* Tgl 25 Februari 2007 pukul 09.00 WITA KD Sri Perli memasuki wilayah RI sejauh 3.000 yard yang akhirnya diusir keluar oleh KRI Untung Suropati, kembali sekitar pukul 11.00, satu pesawat udara patroli maritim Malaysia jenis Beech Craft B 200 T Superking melintas memasuki wilayah RI sejauh 3.000 yard, kemudian empat kapal
perang yakni KRI Ki Hadjar Dewantara, KRI Keris, KRI Untung Suropati dan KRI Welang disiagakan.
            Apakah tindakan malaysia tersebut termasuk pelanggaran internasiomal?, apabila dilihat dari sudut pandang indonesia tentu saja pelanggaran batas yang dilakukan oleh malaysia merupakan salah satu pelanggaran internasional , mengacu pada UNCLOS 1982 malysia secara jelas telah melanggar kedaulatan indonesia berdasarkan hukum laut internasional atau konvensi hukum laut PBB (United Nation Convention Law of Sea-UNCLOS) yang telah dituangkan dalam UU No.17 tahun 1984, Ambalat diakui dunia internasional sebagai bagian dari wilayah Indonesia.
Dalam kasus Ambalat ini, kalau ada kapal patroli Malaysia memasuki Ambalat bisa saja digiring masuk ke pelabuhan Indonesia selanjutnya ditangkap. “Kapal nelayan saja tidak boleh melanggar batas wilayah negara lain, apalagi kapal patroli atau kapal perang,” karena wilayah ambalat merupakan wilayah kedaulatan negara Republik Indonesia.
Potensi kekayaan sumber daya migas Blok ambalat sangat menjanjikan bagi pihak yang memilikinya. Menurut ahli geologi dari lembag konsultan exploration think tank Indonesia, Andang bachtiar, ambalat menyimpan cadangan potensial yakni 764 juta barel minyak dan 1,4 triliyun kaki kubik gas dari satu titik tambang saja sedangkan di sana ada 9 titik tambang . bahkan pakar perminyakan kurtubi menaksir , potensi pemasukan negara dari minyak ambalat bisa mencapai US$ 40 milyar . nilai yang sangt besar dan menjadi sangat rasional apabila kedua negara memperebutkan Blok ambalat tersebut .

5.kasualitas
            Penyebab klaim yang dilakukan oleh pihak malaysia adalah disebabkan akibat lemahnya Pengawasan Departemen Luar  Negeri yang hanya berbicara pada tatanan tekhnis dari pada kondisi di lapangan. Malaysia sudah terbukti melakukan pelanggaran namun Deplu belum bisa mengatakan bahwa Malaysia telah melakukan pelanggaran.
Salah satu akar sebab sehingga kasus Blok Ambalat mencuat lagi adalah akibat kelemahan pemerintah pusat dalam membangun perbatasan sehingga pihak luar memandang sebelah mata kawasan itu karena mengganggapnya sebagai  "wilayah tak bertuan". Contoh nyata tentang sikap pusat tersebut tercermin dari alokasi dana untuk membangun infrastruktur di kawasan perbatasan. Misalnya, ketika Kaltim mengajukan sekian triliun rupiah untuk membangun kawasan perbatasan, yang disetujui kadang-kadang tidak sampai 10 persen. "Jika pembangunan sudah berjalan baik di kawasan perbatasan, maka dengan sendirinya akan memperkuat sistem pertahanan karena di sana pasti jumlah penduduknya bertambah, Apabila pemerintah pusat tetap membiarkan kondisi perbatasan seperti itu, kata dia, bukan tidak mungkin kasus Ambalat berujung seperti klaim Malaysia atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Pada kasus perebutan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan itu, Indonesia kalah dalam sidang Mahkamah Internasional di Den Haag, Belanda, tahun 2002.
 Malaysia dalam beberapa waktu terakhir membuat ulah dengan memasuki kawasan Indonesia di perairan Ambalat (utara Kaltim) serta mengusir nelayan-nelayan dari Nunukan dan Tarakan dari kawasan itu sehingga kini kapal- kapal perang RI terus bersiaga penuh di sekitar kawasan perbatasan itu. Meskipun dikawal kapal-kapal perang RI, namun Malaysia terus melakukan provokasi dengan lebih dari 100 kali kapal dari negeri jiran itu melakukan pelanggaran wilayah kedaulatan NKRI
6.Penyelesaian sengketa

a. Statue aproach
            Mengingat Malaysia dan Indonesia telah meratifikasi UNCLOS maka idealnya penyelesaian sengketa mengacu pada UNCLOS, bukan pada ketentuan yang berlaku sepihak. Menurut UNCLOS, Pulau Borneo (yang padanya terdapat Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam) berhak atas laut teritorial, zona tambahan, ZEE dan landas kontinen. Di sebelah
timur Borneo, bisa ditentukan batas terluar laut teritorial yang berjarak 12 mil dari garis pangkal, kemudian garis berjarak 200 mil yang merupakan batas ZEE demikian seterusnya untuk landas kontinen. Zona-zona yang terbentuk ini adalah hak dari daratan Borneo. Pertanyaan selanjutnya adalah mana yang merupakan hak Indonesia, dan mana jatah untuk Malaysia? Secara sederhana bisa dikatakan bahwa yang di bagian selatan adalah hak Indonesia dan di utara adalah hak Malaysia. Tentu saja, dalam hal ini, perlu ditetapkan garis batas yang membagi kawasanm perairan tersebut. Sementara itu, garis batas darat antara Indonesia dan Malaysia di Borneo memang sudah ditetapkan. Garis itu melalui Pulau Sebatik, sebuah pulau kecil di ujung timur Borneo, pada lokasi lintang 4° 10’ (empat derajat 10 menit)  lintang utara (lihat Gambar 2). Garis tersebut berhenti di ujung timur Pulau Sebatik. Idealnya, titik akhir dari batas darat ini menjadi titik awal dari garis batas maritim. Meski demikian, ini tidak bearti bahwa garis batas maritim harus berupa garis lurus mengikuti garis 4° 10’ lintang utara. Garis batas maritim ini harus sedemikian rupa sehingga membagi kawasan maritim di Laut Sulawesi secara adil. Garis inilah yang akan menentukan “pembagian” kedaulatan dan hak berdaulat Indonesia dan Malaysia atas kawasan   maritim di Laut Sulawesi, termasuk Blok Ambalat. Hingga makalah ini dibuat, garis ini belum ada/disepakati dan sedang dirundingkan. Menurut UNCLOS, proses penentuan garis batas landas kontinen mengacu pada Pasal 83 yang mensyaratkan dicapainya solusi yang adil atau “equitable solution” (Ayat 1). Untuk mencapai solusi yang adil inilah kedua negara dituntut untuk berkreativitas sehingga diperlukan tim negosiasi yang berkapasitas memadai. Perlu diperhatikan bahwa ’adil’ tidak selalu berarti sama jarak atau equidistance.

b.conceptual aproach (secara kajian teori atau pendapat)

                Ambalat merupakan salah satu kasus sengketa perbatasan yang saat ini banyak menjadi sorotan publik. Berbagai opini, pandangan dan tanggapan tentang solusi atau penyelesaian masalah ini banyak di kemukakan tokoh-tokoh di negeri ini. Secara umum sebagian besar berpendapat setuju Indonesia mengambil sikap tegas dalam menyikapi kasus sengketa Ambalat tapi bukan melalui konfrontasi senjata atau perang (perang adalah jalan terakhir setelah cara diplomasi gagal). Ini didasari dengan beberapa alasan diantaranya adalah bahwa konfrontasi bersenjata tidak lagi populer sebagai resolusi konflik antar bangsa, konfrontasi senjata akan merugikan kedua belah pihak baik secara politik, ekonomi maupun sosial. Penjelasannya demikian, secara politik, citra kedua negara tercoreng, paling tidak diantara negara-negara ASEAN. Sebagaimana diketahui kedua negara termasuk pelopor berdirinya ASEAN, dimana ASEAN didirikan sebagai resolusi konflik, maka cara-cara konfrontasi senjata dapat menjatuhkan citra kedua negara. Secara ekonomi, jelas kedua negara akan mengalami kerugian, perang perlu anggaran yang besar dan tentunya menghambat pembangunan di kedua negara dan bagi Indonesia yang kondisi ekonominya lemah akan sangat terbebani secara ekonomi dengan adanya perang. Aspek sosialnya juga tidak sedikit terutama bagi penduduk di wilayah perbatasan dan TKI kita, mereka harus terpisahkan dengan keluarga akibat terjadinya perang. (Pengalaman saat konfrontasi ditahun 60-an) Lantas sikap tegas yang bagaimana yang harus kita ambil? Tahap awal adalah dengan diplomasi yang handal dan intens yang secara simultan diikuti dengan penguatan ekonomi dan Angkatan Bersenjata kita terutama TNI AL dan TNI AU. Di daerah yang menjadi sengketa tetap fokus pada ROE untuk memagari agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, media harus mengungkap permasalahan ini dengan sejelas mungkin untuk menghindari tindakan yang profokatif dan mengarah pada Nasionalisme sempit yang tidak bermanfaat bagi Indonesia bahkan dapat merugikan, wartawan membantu tim diplomasi mengumpulkan sebanyak mungkin bukti2 pelanggaran, tetapi ditas semua itu tentunya kita  harus selalu siap pada kondisi terburuk yaitu perang.

7.kesimpulan
Perbatasan Indonesia-Malaysia di Laut Sulawesi, di mana Ambalat berada,memang belum terselesaikan secara tuntas. Ketidaktuntasan ini sesungguhnyasudah berbuah kekalahan ketika Sipadan dan Ligitan dipersoalkan dan akhirnyadimenangkan oleh Malaysia. Jika memang belum pernah dicapai kesepakatanyang secara eksplisit berkaitan dengan Ambalat maka perlu dirujuk kembaliKonvensi Batas Negara tahun 1891 yang ditandatangani oleh Belanda dan Inggrissebagai penguasa di daerah tersebut di masa kolinialisasi. Konvensi ini tentu sajamenjadi salah satu acuan utama dalam penentuan perbatasan antara Indonesia dan Malaysia di Kalimantan. Perlu diteliti apakah Konvensi tersebut secara eksplisit memuat/mengatur kepemilikan Ambalat. Cara terbaik adalah jika para pembuatkebijakan, baik di Jakarta dan Kuala Lumpur maupun berbagai kelompok masyarakat di kedua negara, bersedia menggunakan kerangka pemikiran holistik untuk mengelola sengketa itu.