Senin, 29 April 2013

Keberadaan pidana denda dalam UU no 22 tahun 2009 tentang lalu lintas



Keberadaan pidana denda dalam UU no 22 tahun 2009 tentang lalu lintas

Latar belakang
            Pada dasarnya penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa penting dan evektivnya keberadaan pidana denda ini di dalam kehidupan masyarakat, dan apakah masyarakat masih tetap percaya terhadap pidana denda ini dan apakah masih dapat di upayakan kebeadaanya..keberadaan pidana denda yang tujuan awalnya adalah memberikan Punishment serta sebagai pendapatan negara merupakan tujuan mulia yang hendak di capai, namun hal itu hanya sekedar angin lalu saja nyatanya pidana tilang tersebut justru menjadi ajang beberapa oknum guna memperoleh keuntungan, hal ini terjadi karena kurang tansparannya audit dari kepolisisan dan kejaksaan mengenai piutang denda tilang yang ada, sesuai denga yang termuat pada harian kompas “Untuk menghindari penyelewengan, pendapatan denda bukti pelanggaran kendaraan bermotor perlu audit dan diumumkan ke publik”[1]. Hal itu penting karena potensi pendapatan dari sektor tersebut sangat tinggi. Puncaknya terjadi selama Ramadhan karena operasi lalu lintas sangat gencar dilakukan oleh kepolisian.  Upaya agar tertib berlalu lintas selalu di gaungkan dan di upayakan oleh pemerintah melalui dalam hal ini adalah aparat kepolisian, banyak hal yang di upayakan dalam mencanangkan program tertib berlalu lintas mulai dari sosialisasi hingga tindakan salah satu tindakan yang sudah dari dulu dan hingga kini masih diterapkan adalah dengan cara pemberian denda kepada setiap pelanggar lalu lintas, denda adalah merupakan salah satu jenis sanksi pidana, pidana denda adalah salah satu jenis pidana dalam stelsel pidana pada umumnya. Apabila obyek dari pidana penjara dan kurungan adalah kemerdekaan orang dan obyek pidana mati adalah jiwa orang maka obyek dari pidana denda adalah harta benda si terpidana. Harta benda yang manakah yang di maksudkan? Apabila kita perhatikan bunyi ketentuan KUHP maupun UU lain maka jelaslah bahwa harta benda yang dimaksudkan adalah dalam bentuk uang dan bukan dalam bentuk natura atau barang, baik bergerak maupun tidak bergerak. Sebagai salah satu jenis pidana denda , tentu saja pidana denda bukan dimaksudkan sekedar untuk tujuan-tujuan ekonomis misalnya untuk sekedar menambah pemasukan keuangan negara, melainkan harus dikaitkan dengan tujuan-tujuan pemidanaan. Pengaturan dan penerapan pidana denda baik dalam tahap legislatif (pembuatan undang-undang) tahap yudikatif (penerapannya oleh hakim), maupun tahap pelaksanaannya oleh komponen peradilan pidana yang berwenang (eksekutif) harus dilakukan sedemikian rupa sehingga efektif dalam mencapai tujuan pemidanaan. Oleh karena itu pidana denda senantiasa dikaitkan dengan pencapaian tujuan pemidanaan. Selanjutnya efektifitas suatu pemidanaan tergantung pada suatu jalinan mata rantai tahap-tahap atau proses sebagai berikut:
a. Tahap penetapan pidana (denda) oleh pembuat undang-undang,
b. Tahap pemberian atau penjatuhan pidana (denda) oleh pengadilan, dan
c. Tahap pelaksanaan pidana (denda) oleh aparat yang berwenang.
Tetapi di samping faktor-faktor diatas, efektifitas pidana denda itu sangat tergantung pula pada pandangan dan penilaian masyarakat terhadap pidana denda. Apabila masyarakat masih melihat pidana denda sebagai hal yang kurang memenuhi rasa keadilan. Perlunya diadakan penelitian apakah keberadaan pidana denda ini masih dapat diterima oleh masyarakat, atapun apakah masyarakat telah puas dengan pidana denda dalam undang undang lalu lintas ini..
Dikaitkan dengan keberadaan denda dalam undang undang nomor 22 tahun 2009 dalam hal ini denda menjadi sebilah mata pisau bagi aparat kepolisian untuk mentertibkan masyarakat sehingga masyarakat akan patuh terhadap undang undang Lalu lintas ini, Namun keberadaan pidana denda ini bukannya tanpa masalah , banyak permasalahn yang muncul dalam penerapan sanksi pidana denda ini dalam pelaksanaan undang undang nomor 22 tahun 2009 tentang lalu lintas, maka bukan tidak mungkin dan seharusnya mungkin ada sanksi lain  yang diterapkan dalam pelksanaan undang undang lalu lintas ini semisal pemberian sanksi sosial berupa kerja sosial , maupun sanksi moral yang juga akan menimbulkan efek jera bagi pelaku pelanggaran undang undang lalu lintas, hal ini karena keberadaan denda sudah sangat kuno dan dianggap terlalu ringan bagi sebagian kalangan sehingga tidak menimbulkan efek jera maupun rasa bersalah ketika para pelaku ini melanggar undang undang lalu lintas, selain itu tidak usah kita pungkiri juga bahwa keberadaan sanksi denda ini juga dimanfaatkan oleh oknum oknum kepolisian mencari keuntungan dengan melakukan perbuatan korupsi,selain itu proses pembayaran masalah sanksi pidana denda yang tidak semua orang mengerti tentang teknis pembayaran mengenai ada beberapa slip surat tilang juga sangat membingungkan sehingga sering dimanfaatkan oleh segelintir oknum polisi nakal, sering bocornya pembayaran denda dari tilang kendaraan bermotor juga menjadi problem tersendiri yang hingga saat ini masi marak, tentu saja kita tidak bisa secara instan mengganti semua pidana denda dengan sanksi lain karena untuk beberapa hal perlu dipertahankan adanya pidana denda ini karena dianggap cukup evektiv,
Agar lebih mendalami akan di cantumkan Daftar denda tilang yang termuat dalam Undang undang No.22 Tahun 2009 antara lain :
1. Setiap Orang
Mengakibatkan gangguan pada : fungsi rambu lalu lintas, Marka Jalan, Alat pemberi isyarat lalu lintas fasilitas pejalan kaki, dan alat pengaman pengguna jalan.
Pasal 275 ayat (1) jo pasal 28 ayat (2)
Denda : Rp 250.000

2. Setiap Pengguna Jalan
Tidak mematui perintah yang diberikan petugas Polri sebagaimana dimaksud dalam pasal 104 ayat (3), yaitu dalam keadaan tertentu untuk ketertiban dan kelancaran lalu lintas wajib untuk : Berhenti, jalan terus, mempercepat, memperlambat, dan / atau mengalihkan arus kendaraan.
Pasal 282 jo Pasal 104 ayat (3)
Denda : Rp 250.000

3. SETIAP PENGEMUDI ( PENGEMUDI SEMUA JENIS RANMOR )
a. Tidak membawa SIM
Tidak dapat menunjukkan Surat Ijin Mengemudi yang Sah
Pasal 288 ayat (2) jo Pasal 106 ayat (5) hrf b.
Denda : Rp 250.000

b. Tidak memiliki SIM
Mengemudikan kendaraan bermotor di jalan,tidak memiliki Surat Izin Mengemudi
Pasal 281 jo Pasal 77 ayat (1)
Denda : Rp 1.000.000

c. STNK / STCK tidak Sah
Kendaraan Bermotor tidak dilengkapi dengan STNK atau STCK yang ditetapkan oleh Polri.
Psl 288 ayat (1) jo Psl 106 ayat (5) huruf a.
Denda : Rp 500.000

d. TNKB tidak Sah
Kendaraan Bermotor tidak dipasangi Tanda Nomor Kendaraan Bermotor yang ditetapkan oleh Polri.
Pasal 280 jo pasal 68 ayat (1)
Denda : Rp 500.000

e. Perlengkapan yg dpt membahayakan keselamatan.
Kendaraan bermotor dijalan dipasangi perlengkapan yang dapat menganggu keselamatan berlalu lintas antara lain: Bumper tanduk dan lampu menyilaukan.
Pasal 279 jo Pasal 58
Denda : Rp 500.000

f. Sabuk Keselamatan
Tidak mengenakan Sabuk Keselamatan
Psl 289 jo Psl 106 Ayat (6)
Denda : Rp 250.000

g. Lampu utama malam hari
Tanpa menyalakan lampu utama pada malam hari dan kondisi tertentu.
Pasal 293 ayat (1) jo pasal 107 ayat (1)
Denda : Rp 250.000

h. Cara penggandengan dan penempelan dgn kendaraan lain
Melanggar aturan tata cara penggandengan dan penempelan dengan kendaraan lain Pasal 287 ayat (6) jo pasal 106 (4) hrf h
Denda : Rp 250.000

i. Ranmor Tanpa Rumah-rumah
Selain Spd Motor Mengemudikan Kendaraan yang tidak dilengkapi dengan rumah-rumah, tidak mengenakan sabuk keselamatan dan tidak mengenakan Helm.
Pasal 290 jo Pasal 106 (7).
Denda : Rp 250.000

j. Gerakan lalu lintas
Melanggar aturan gerakan lalu litas atau tata cara berhenti dan parkir
Pasal 287 ayat (3) jo Pasal 106 ayat (4) e
Denda : Rp 250.000

k. Kecepatan Maksimum dan minimum
Melanggar aturan Batas Kecepatan paling Tinggi atau Paling Rendah
Psl 287 ayat(5) jo Psl 106 ayat (4) hrf (g) atau psl 115 hrf (a)
Denda : Rp 500.000

l. Membelok atau berbalik arah
Tidak memberikan isyarat dengan lampu penunjuk arah atau isyarat tangan saat akan membelok atau berbalik arah. Pasal 294 jo pasal 112 (1).
Denda : Rp 250.000

m. Berpindah lajur atau bergerak ke samping
Tidak memberikan isyarat saat akan berpindah lajur atau bergerak kesamping.
Pasal 295 jo pasal 112 ayat (2)
Denda : Rp 250.000

n. Melanggar Rambu atau
Marka Melanggar aturan Perintah atau larangan yang dinyatakan dengan Rambu lalu lintas atau Marka
Psl 287 ayat(1) jo psl 106(4) hrf (a) dan Psl 106 ayat(4) hrf (b)
Denda : Rp 500.000

o. Melanggar Apil (TL - Traffic Light)
Melanggar aturan Perintah atau larangan yang dinyatakan dgn alat pemberi isyarat Lalu Lintas. Psl 287 ayat (2) jo psl 106(4) hrf ©
Denda : Rp 500.000

p. Mengemudi tidak Wajar
- Melakukan kegiatan lain saat mengemudi
- Dipengaruhi oleh suatu keadaan yang mengakibatkan gangguan konsentrasi dalam mengemudi di jalan
Pasal 283 jo pasal 106 (1).
Denda : Rp 750.000

q. Diperlintasan Kereta Api
Mengemudikan Kendaran bermotor pada perlintasan antara Kereta Api dan Jalan, tidak berhenti ketika sinyal sudah berbunyi, Palang Pintu Kereta Api sudah mulai ditutup, dan / atau ada isyarat lain.
Pasal 296 jo pasal 114 hrf (a)
Denda : Rp 750.000

r. Berhenti dalam Keadaan darurat.
Tidak Memasang segitiga pengaman, lampu isyarat peringatan Bahaya atau isyarat lain pada saat berhenti atau parkir dalam keadaan darurat dijalan.
Pasal 298 jo psl 121 ayat (1)
Denda : Rp 500.000

s. Hak utama Kendaraan tertentu
Tidak memberi Prioritas jalan bagi kendaraan bermotor memiliki hak utama yang menggunakan alat peringatan dengan bunyi dan sinar dan / atau yang dikawal oleh petugas Polri.
a. Kend Pemadam Kebakaran yg sdg melaks tugas
b. Ambulan yang mengangkut orang sakit ;
c. Kend untuk memberikan pertolongan pd kecelakaan
Lalu lintas;
d. Kendaraan Pimpinan Lembaga Negara Republik
Indonesia;
e. Kend Pimpinan dan Pejabat Negara Asing serta Lembaga
internasional yg menjadi tamu Negara;
f. Iring – iringan Pengantar Jenazah; dan
g. Konvoi dan / atau kend utk kepentingan tertentu menurut
pertimbangan petugas Kepolisian RI.
Pasal 287 ayat (4) jo Pasal 59 dan pasal 106 (4) huruf (f) jo Pasal 134 dan pasal 135.
Denda : Rp 250.000

t. Hak pejalan kaki atau Pesepeda
Tidak mengutamakan pejalan kaki atau pesepeda
Pasal 284 jo 106 ayat (2).
Denda : Rp 500.000

Dari pengamatan daftar denda di atas terlalu munafik apabila kita mengatakan denda tersebut tidak berat, karena dilihat dai nilai nominalnya , denda denda tersebut lumayan cukup untuk menguras kantong, apalagi bagi kalangan masyarakat yang Ekonominya sedikit lemah belum lagi evek jera yang didapat akan tidak berarti apabila denda tilang tersebut mengenai golongan masyarakat yang berkecukupan atau memiliki tingkat ekonomi yang tinggi. nah oleh karena itu sekiranya Dimungkinkan untuk memasukkan beberapa pidana pengganti yang sekiranya tidak memberatkan masyarakat. Dan apakah masyarakat masi mampu menerima keberadaan pidana denda ini atau berharap muncul pidana pengganti yang dirasa adil dan memiliki efek jera


Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas dapat ditarik beberapa Rumusan masalah dari penelitian ini antara lain.,
1.      Apakah masih evektiv pidana denda pada kasus Tilang di Indonesia pada saat ini?
2.      Apakah masyarakat masih berharap kepada ke efektivan pidana denda dalam Undang undang Nomor 22 tahun 2009?
3.      Apakah masyarakat menghendaki ada pidana lain sebagai pengganti atau pendamping dari pidana denda dalam kasus tilang kendaraan di indonesia?

Tujuan penelitian

·         Tujuan penelitian ini adalah untuk mengukur kepuasan masyarakat terhadap Pidana denda dalam kasus tilang kendaraan bermotor
·         Tujuan yang ke dua adalah untuk mengetahui ke evektifan dari pelaksanaan Pidana denda ini dari efek jera yang ditimbulkan dan tingkat pelanggaran lalu lintas dalam masyarakat
·         Dan yang terakhir adalah menjadi masukan bagi Legislatif atau aparat kepolisian guna menciptakan punishment baru yang bisa dianggap adil dan memiliki evek jera dalam masyarakat.


Manfat penelitian
Manfaat dari diadakan penelitian hukum mengenai masalah ini adalah ;
1.      Mengetahui tingkat keevektifan dari pidana denda yang termuat dalam tilang kendaraan bermotor
2.      Mengetahui pendapat masyarakat mengenai pidana denda dari tilang kendaraan bermotor yang berlaku saat ini di wilayah hukum Indonesia

Metode penelitian :
a. Wilayah Penelitian :
Daerah wilayah kota Surabaya mewakili seluruh indonesia dengan dibagi menjadi 4 wilayah
·         Surabaya Utara;
-Bulak                         -Krembangan
-Semampir                   -Pabean cantikan
-Kenjeran
·         Surabaya Selatan
-Wonocolo                  -Jambangan
-Wonokromo               -Dukuh pakis
-Wiyung
-Karangpilang
·         Surabaya Barat
-Benowo                     -Asemrowo
-Pakal                          -Sambikerep
-Sukomanunggal         -Lakarsantri
·         Surabaya Timur
-Gubeng                      -sukolilo                     
-Tenggilis mejoyo
-Gununganyar             -Mulyorejo
-Tambaksari                 -Rungkut
·         Surabaya Pusat
-Tegalsari                     -bubutan
-genteng                      -Simokerto



Jenis dan Sumber Data
Meliputi data primer dan sekunder,
Data primer diperoleh langsung dari responden dan informan kunci, yaitu :
-          Masyarakat, sebanyak 50 orang dengan cluster Random umur kisaran 20-40 Tahun yang tidak cacat Hukum dan bisa mengendarai kendaraan bermotor serta selalu menggunakan kendaraan bermotor pribadi dalam kegiatan sehari hari
-          Kasatlantas Polrestabes Surabaya.
Data sekunder , dilakukan dengan penelitian kepustakaan guna mendapatkan landasan teoritis. Pengumpulan data ini dilakukan dengan studi atau penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu dengan mempelajari peraturan-peraturan, dokumen-dokumen maupun buku-buku yang ada kaitannya dengan masalah yang diteliti, dan doktrin atau pendapat para sarjana. 
Teknik dan metode pengambilan data
Data yang telah terkumpul melalui kegiatan pengumpulan data belum memberikan arti apa-apa bagi tujuan penelitian. Penelitian belum dapat ditarik kesimpulan bagi tujuan penelitiannya sebab data itu masih merupakan bahan mentah, sehingga diperlukan usaha untuk mengolahnya  Menjadi digram diagram yang sitematis sehingga mudah dalam memahaminya
Proses yang dilakukan adalah dengan memeriksa, meneliti data yang diperoleh untuk menjamin apakah data dapat dipertanggung jawabkan sesuai dengan kenyataan. Atau valid  Setelah data diolah dan dirasa cukup maka selanjutnya disajikan dalam bentuk uraian-uraian kaliamat yang sistematis disertai diagram diagram yang sistematis mudah dicerna

Analisis Data
Metode analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif, yaitu uraian data secara bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur, runtun, logis dan tidak tumpang tindih sehingga memudahkan implementasi data dan pemahaman hasil analisis. Dalam hal ini setelah bahan dan data diperoleh, maka selanjutnya diperiksa kembali bahan dan data yang telah diterima terutama mengenai konsistensi jawaban dari keragaman bahan dan data yang diterima. Dari bahan dan data tersebut selanjutnya dilakukan analisis terhadap penerapan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap anak dari tindak pidana pencabulan.








[1] Kompas,Denda tilang perlu diumumkan,h1,8januari2013

Perbedaan dari 11 perjanjian perjanjian yang dilarang disertai contoh masing masing



Perbedaan dari 11 perjanjian perjanjian yang dilarang disertai contoh masing masing

1.Oligopoli
Pasar oligopoli dari segi bahasa berasal dari kata olio yang berarti beberapa dan poli yang artinya penjual adalah pasar di mana penawaran satu jenis barang dikuasai oleh beberapa perusahaan. Umumnya jumlah perusahaan lebih dari dua tetapi kurang dari sepuluh.
Secara sederhana oligopoli ditafsirkan sebagai kondisi suatu pasar di mana hanya terdapat sedikit penjual, dan masing-masing menjual barang yang sama dengan yang lain (Mankiw, 2006: 426). Kondisi pasar yang oligopolistik menyebabkan tindakan salah satu penjual dalam pasar dapat memengaruhi keuntungan penjual yang lain. Artinya, perusahaan-perusahaan oligopolistik saling terkait satu sama lain dengan cara yang berbeda dengan perusahaan-perusahaan yang berkompetisi dalam sebuah pasar persaingan sempurna.
Perusahaan-perusahaan yang bertindak sebagai oligopolis tentunya memiliki keuntungan layaknya perusahaan monopolis di dalam pasar yang tidak kompetitif. Para oligopolis sangat mungkin menggunakan posisinya yang dominan di dalam pasar untuk secara bersama-sama menentukan harga yang tinggi yang harus dibayar konsumen. Praktek-praktek seperti kartel maupun penetapan harga (price fixing) antara oligopolis sangat mungkin untuk menjauhkan pasar dari efisiensi secara mandiri dan membuat konsumen membayar harga yang tinggi yang ditetapkan secara sewenang-wenang antara para oligopolis.
Jadi dapat isimpulkan yang bmenjadi pembeda antara perjanjian oligopoli yang dilarang ini dengan perjanjian yang dilarang lain adalah dalam oligopoli ada sebuah kerjasama antar pelaku usaha dalam hal penguasaan produksi tanpa adanya pihak yang berkuasa jadi atas keinginan masing masing pelaku usaha. Perjanjian oligopoli ini diatuir dalam pasal 4 ayat 1 undang undang nomor 5 tahun 1999
Contoh kasus; Perilaku Oligopoli pada Industri Telekomunikasi
Ada hal menarik yang dapat dicermati dari gencarnya perang tarif percakapan melalui telepon seluler akhir-akhir ini, yaitu masing-masing provider mengklaim bahwa mereka telah memberikan harga terbaik bagi para pelanggannya. Simak saja misalnya bagaimana perilaku tiga operator telepon seluler terbesar di Indonesia (PT. Telkomsel, PT. Indosat, dan PT. Exelcomindo Pratama) dalam mengibarkan bendera perang pemasaran dengan menawarkan tarif percakapan di bawah Rp1 per detik. Terlepas dari iming-iming menarik yang ditawarkan, perang tarif yang diluncurkan para operator telepon seluler kini sebenarnya sudah memasuki ranah yang mengusik perhatian kita kalau tidak mau dikatakan sudah membingungkan atau bahkan menjebak bagi pelanggan individual.
Kreatifitas para operator dalam merumuskan skema tarif percakapan ternyata mampu mengacak-acak perilaku pelanggan sehingga membuat pelanggan individual seringkali penasaran dan terpancing emosinya. Simak saja bagaimana operator XL menawarkan tarif Rp 0,1 per detik ke sesama operator;  sementara Telkomsel Simpati PeDe menawarkan Rp 0,5 per detik.  Indosat Mentari menawarkan Rp 0 pada menit pertama ke sesama operator; dan IM3 menawarkan tarif Rp 0,01 per detik ke seluruh operator untuk percakapan 90 detik pertama dan selebihnya menggunakan tarif Rp 15 per detik ke sesama operator dan Rp25 per detik ke operator lain.  Belum lagi, operator-operator lain kini juga mulai sibuk menawarkan tarif paling murah ke sesama pelanggan dengan syarat dan kondisi tertentu.

2.Perjanjian penetapan harga
Perjanjian penetapan harga (price fixing agreement) 

            merupakan salahsatu strategi yang dilakukan oleh para pelaku usaha yang bertujuan untukmenghasilkan laba yang setingi-tingginya. Dengan adanya penetapan harga yangdilakukan di antara pelaku usaha (produsen atau penjual), maka akan meniadakanpersaingan dari segi harga bagi produk yang mereka jual atau pasarkan, yangkemudian dapat mengakibatkan surplus konsumen yang seharusnya dinikmatioleh pembeli atau konsumen dipaksa beralih ke produsen atau penjual. Kekuatanuntuk mengatur harga, pada dasarnya merupakan perwujudan dari kekuatanmenguasai pasar dan menentukan harga yang tidak masuk akal, hal ini diatur dalam pasal 5 undang undang No.5 tahun 1999
contoh kasus ; adalah perkara penetapan harga yang didukung oleh asosiasi pengusaha angkutan jalan raya (Organda DKI Jakarta), didasarkan pada Putusan Nomor 05/KPPU-I/2003 tentang Penetapan Harga Tarif Bus Kota Patas AC. Dugaan penetapan harga ditujukan pada penyelenggara angkutan umum, yakni PT Steady Safe, Tbk., PT Mayasari Bakti, Perum PPD, PT Bianglala Metropolitan, PT Pahala Kencana, dan PT AJA Putra. Dugaan berawal dari kesepakatan di antara pengusaha angkutan jalan raya yang tergabung dalam Organda, untuk menaikkan tarif angkutan Bus Kota Patas AC sebesar Rp. 3.300, dengan menerbitkan Surat Keputusan Nomor Skep-115/DPD/IX/2001 tentang Penyesuaian Tarif Angkutan Umum Bus Kota Patas AC di Wilayah DKI Jakarta. Berdasarkan surat ini, mereka yang tergabung dalam asosiasi, yakni DPD Organda DKI Jakarta, kemudian mengajukan surat kepada Gubernur Propinsi DKI Jakarta untuk konsultansi tarif Bus Kota Patas AC. Sesuai dengan permohonan tersebut, maka Gubernur mengeluarkan Surat Nomor 2640/-1.811.33 tanggal 4 September 2001 mengenai Penyesuaian Tarif Angkutan, dari Rp. 2.500,- menjadi Rp. 3.300,-.
Alasan yang digunakan oleh para pengusaha angkutan tersebut antara lain adalah meningkatnya harga bahan bakar dan spare parts, sehingga mereka menganggap bahwa tarif yang berlaku saat ini terlalu rendah atau di bawah biaya pokok angkutan. Oleh karena itu, mereka sepakat untuk menaikkan tarif secara seragam, meskipun terdapat beberapa pengusaha angkutan yang hanya memiliki sedikit armada bus, mengaku tidak memiliki kekuatan untuk menentukan besarnya tarif angkutan tersebut, sehingga hanya mengikuti saja kesepakatan di antara pihak penentu. Kesepakatan mengenai penyeragaman tarif ini diakui beberapa penyelenggara angkutan sebagai bertentangan dengan jiwa persaingan, karena seharusnya yang berhak menentukan besarnya tarif angkutan adalah para penyelenggara, disesuaikan dengan biaya produksi masing-masing operator bus kota.
Berdasarkan bukti-bukti dan pengakuan para pengusaha dan saksi-saksi, maka Komisi Pengawas Persaingan Usaha memutuskan bahwa kesepakatan di antara para penyelenggara angkutan Bus Kota tersebut di atas melanggar Pasal 5 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999, dan menetapkan pembatalan kesepakatan penyesuaian tarif bus kota Patas AC dari Rp. 2.500,- menjadi Rp. 3.300,- per-penumpang.

3.Diskriminasi harga dan Diskon
Perjanjian diskriminasi harga adalah perjanjian yang dibuat oleh pelakuusaha dengan pelaku usaha lainnya dimana untuk suatu produk yang sama dijualkepada setiap konsumen dengan harga yang berbeda-beda. Secara sederhana,suatu diskriminasi harga telah terjadi apabila terjadi perbedaan harga antarasatu pembeli dengan pembeli lainnya. Namun demikian, dapat terjadi bahwadiskriminasi harga tersebut disebabkan karena adanya perbedaan biaya ataukarena kebutuhan persaingan lainnya seperti biaya iklan dan lain-lain. Terdapatbeberapa syarat untuk terjadinya diskriminasi harga yaitu:1) Para pihak haruslah mereka yang melakukan kegiatan bisnis, sehinggadiskriminasi harga akan merugikan apa yang disebut
“primary line” injury 
yaitu dimana diskriminasi harga dilakukan oleh produsen atau grosirterhadap pesaingnya. Begitu pula diskriminasi harga dapat pula merugikan
“secondary line” 
apabila diskriminasi harga dilakukan oleh suatu produsenterhadap suatu grosir, atau retail yang satu dan yang lainnya mendapatkanperlakuan khusus. Hal ini akan menyebabkan grosir atau retail yang tidakdisenangi tidak dapat berkompetisi secara sehat dengan grosir atau retailyang disenangi.2) Terdapat perbedaan harga baik secara lagsung maupun tidak langsung,misalnya melalui diskon, atau pembayaran secara kredit, namun pada pihaklainnya harus cash dan tidak ada diskon.3) Dilakukan terhadap pembeli yang berbeda. Jadi dalam hal ini paling sedikitharus ada dua pembeli.4) Terhadap barang yang sama tingkat dan kualitasnya.5) Perbuatan tersebut secara substansial akan merugikan, merusak ataumencegah terjadinya persaingan yang sehat atau dapat menyebabkan
monopoli pada suatu aktitas perdagangan.

Jadi pembeda dari Diskriminasi harga dengan perjanjian yang dilarang lain dapat dilihat pada Pasal 6 Undang-Undang No.5/1999 yakni berbunyi melarang setiap perjanjian diskriminasiharga tanpa memperhatikan tingkatan yang ada pada diskriminasi harga, dimana bunyi dari pasal tersebut antara lain: “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjianyang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga yangberbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan/ataujasa yang sama.
Contoh kasus ; Salah satu kasus yang pernah diputus oleh KPPU sehubungan dengan iniadalah Kasus ABC, Putusan Perkara Nomor: 06/KPPU-L/2004 Menyatakan bahwaTerlapor terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 15 ayat (3) hurufb Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999. Adapun duduk perkara secara singkat adalah sebagai berikut. Pada pertengahan bulan Februari 2004, PT Panasonic GobelIndonesia (PT PGI) telah melaksanakan program “Single Pack Display”  denganketentuan setiap toko yang mendisplay baterain single pack (baterai manganesetipe AA) dengan menggunakan standing display akan diberikan 1 (satu) buahsenter yang sudah diisi dengan 4 baterai dan toko yang selama 3 (tiga) bulanmendisplay produk tersebut akan mendapatkan tambahan 1 buah senter yang sama,sedangkan untuk material promosi\ (standing display) diberikan gratis oleh PT PGI.Kemudian pada bulan Maret 2004 diperoleh informasi bahwa Terlaporsedang melaksanakan Program Geser Kompetitor (PGK). Isi atau kegiatan dariprogram tersebut tertuang dalam suatu “Surat Perjanjian PGK Periode Maret-Juni2004” yang berisi sebagai berikut:1. Program Pajang dengan mendapatkan potongan tambahan 2%, denganketentuan sebagai berikut:a. Toko mempunyai space/ruang pajang baterai ABC dengan ukuran minimal0,5 x 1 meter;b. Toko bersedia memajang baterai ABC;c. Toko bersedia memasang POS (material promosi) ABC;2. Komitmen toko untuk tidak menjual baterai Panasonic dengan mendapatkanpotongan tambahan 2%, dengan ketentuan sebagai berikut;a. Toko yang sebelumnya jual baterai Panasonic, mulai bulan Maret sudahtidak jual lagi;b. Toko hanya menjual baterai ABC;3. Mengikuti Program Pajang dan Komitmen untuk tidak jual baterai Panasonic;a. Bahwa patut diduga PGK tersebut dilakukan oleh Terlapor;b. Bahwa Terlapor diduga melaksanakan PGK dengan cara membuat perjanjiandengan toko untuk tidak menjual baterai Panasonic;Berdasarkan analisis fakta-fakta di atas, Majelis Komisi berpendapat bahwaTerlapor telah membuat Perjanjian PGK yang ditanda tangani oleh toko grosiratau semi grosir peserta PGK berdasarkan hal tersebut di atas, unsur “membuatperjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang dan atau jasa”dalam pasal 15 ayat 3 telah terpenuhi. Majelis Komisi selanjutnya berpendapatbahwa kegiatan promosi berupa PGK yang memuat ketentuan atau persyaratanyang melarang toko grosir atau semi grosir untuk menjual baterai Panasonicmerupakan upaya untuk menyingkirkan atau setidak-tidaknya mempersulit pelakuusaha pesaingnya, dalam perkara ini PT PGI, untuk melakukan kegiatan usahayang sama dalam pasar yang bersangkutan. Sehingga unsur “menolak dan ataumenghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang samapada pasar bersangkutan” pada pasal ini telah terpenuhi

4.Perjanjian pembagian wilayah (market division) 
Pelaku usaha membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untukmembagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar adalah salah satu cara yangdilakukan untuk menghindari terjadinya persaingan di antara mereka. Melaluipembagian wilayah ini, maka para pelaku usaha dapat menguasai wilayah pemasaranatau alokasi pasar yang menjadi bagiannya tanpa harus menghadapi persaingan.Dengan demikian dia akan mudah menaikkan harga ataupun menurunkan produksinyaatau barang yang dijual untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya.Pada prinsipnya perjanjian diantara pelaku usaha untuk membagi wilayahpemasaran pemasaran diantara mereka akan berakibat kepada eksploitasi terhadapkonsumen, dimana konsumen tidak mempunyai pilihan yang cukup baik dari segibarang maupun harga. Undang-undang No.5/1999 melarang perbuatan tersebutdalam Pasal 9 berbunyi:“pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usahapesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasipasar terhadap barang dan/atau jasa sehingga dapat mengakibatkanterjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.”Stephen F. Ross menyatakan bahwa hilangnya persaingan di antara sesamapelaku usaha dengan cara melakukan pembagian wilayah bisa membuat pelaku usahamelakukan tindakan pengurangan produksi ke tingkat yang tidak efesien, kemudianmereka juga dapat melakukan eksploitasi terhadap konsumen dengan menaikanharga produk, dan menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk bertindak sewenang-wenang terhadap konsumen yang sudah teralokasi sebelumnya tersebut
Contoh kasusnya ; Contoh kasusnya : Adapun para Terlapor dalam kasus ini adalah Terlapor I adalah DewanPengurus Pusat Asosiasi Kontraktor Listrik dan Mekanikal Indonesia (DPP AKLI),Terlapor II Dewan Pengurus Daerah Asosiasi Kontraktor Listrik dan MekanikalIndonesia (DPD AKLI) Sulawesi Selatan, Terlapor III Dewan Pengurus CabangAsosiasi Kontraktor Listrik dan Mekanikal Indonesia (DPC AKLI) Palopo, TerlaporIV Dewan Pengurus Cabang Asosiasi Kontraktor Listrik dan Mekanikal Indonesia(DPC AKLI) Luwu Utara, Terlapor V Dewan Pengurus Cabang Asosiasi KontraktorListrik dan Mekanikal Indonesia (DPC AKLI) Luwu Timur, Terlapor VI DewanPengurus Cabang Asosiasi Kontraktor Listrik dan Mekanikal Indonesia (DPC AKLI)Tana Toraja.Bahwa Terlapor I adalah asosiasi perusahaan yang bergerak di bidangpekerjaan elektrikal dan mekanikal yang bertujuan membina anggota-anggotanyauntuk dapat memenuhi tugas dan tanggung jawab dalam proses pembangunanIndonesia di bidang ketenagalistrikan. Terlapor I memiliki 32 (tiga puluh dua) DewanPengurus Daerah (DPD), 121 (seratus dua puluh satu) Dewan Pengurus Cabang(DPC), dan 4806 (empat ribu delapan ratus enam) badan usaha instalatir.Terlapor II adalah pengurus daerah Terlapor I di Propinsi Sulawesi Selatan,Terlapor II membawahi 9 (sembilan) DPC dan memiliki anggota sebanyak 173(seratus tujuh puluh tiga) badan usaha instalatir. Terlapor III adalah penguruscabang Terlapor I di Kota Palopo, Sulawesi Selatan, dan memiliki anggotasebanyak 11 (sebelas) anggota badan instalatir. Terlapor IV adalah penguruscabang Terlapor I di Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan, memiliki anggotasebanyak 11 (sebelas) anggota badan instalatir. Terlapor V adalah penguruscabang Terlapor I di Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan, memiliki anggotasebanyak 10 (sepuluh) anggota badan instalatir.KPPU berpendapat berdasarkan bukti-bukti bahwa Terlapor I melaluiTerlapor II, Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V, Terlapor VI, dan DPC-DPC lain diwilayah Sulawesi Selatan, membagi wilayah kerja PJT berdasarkan wilayah cabangPT. PLN (Persero) di Sulawesi Selatan. Namun khusus di wilayah PT. PLN (Persero)Cabang Palopo, Terlapor II membagi lagi wilayah kerja PJT ( Penanggung JawabTeknik) menjadi 4 (empat) wilayah berdasarkan tempat kedudukan DPC berada,yaitu: Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V, dan Terlapor VI. Pembagian wilayah PJTdalam SP-PJT oleh Terlapor I dapat dikategorikan sebagai perjanjian dilaksanakanoleh Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V, dan Terlapor VI.Adapun yang menjadi alasan dari Terlapor I membagi wilayah kerjaPJT melalui SP-PJT adalah untuk keselamatan dan keamanan instalasi, sertamemberdayakan potensi sumber daya PJT setempat
Pembagian wilayah kerja PJT yang dilakukan oleh Terlapor I di daerahSulawesi Selatan melalui Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V, TerlaporVI, dan DPCDPC lainnya di Sulawesi Selatan ini, menimbulkan dampak badan usahainstalatir tidak dapat menggunakan PJT-nya di wilayah lain dan harus menggunakanjasa PJT setempat yang menjadi pegawai di badan usaha instalatir.Putusan ini menunjukkan kepada kita bahwa suatu assosiasi perusahaandapat digunakan untuk melakukan aktivitas ataupun perjanjian-perjanjian yanganti persaingan. Dengan adanya pembagian wilayah tersebut, maka kiranya jelashal tersebut akan menyebabkan terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat.Pada sisi lain tidak ditemukan adanya alasan-alasan yang dapat membenarkanperbuatan tersebut

5. Pemboikotan
Perjanjian pemboikotan merupakan salah satu bentuk usaha yang dilakukanpara pelaku usaha untuk mengeluarkan pelaku usaha lain dari pasar yang sama,atau juga untuk mencegah pelaku usaha yang berpotensi menjadi pesaing untukmasuk ke dalam pasar yang sama, yang kemudian pasar tersebut dapat terjagahanya untuk kepentingan pelaku usaha yang terlibat dalam perjanjian pemboikotantersebut.Pemboikotan atau concerted refusal to deal  pada umumnya merupakantindakan kolektif sekelompok pesaing. Namun demikian boycott  dapat pulamerupakan tindakan sepihak atau kolektif untuk menghentikan suplai atau pembeliankepada atau dari konsumen tertentu atau penerapan syarat-syarat tertentu kepadakonsumen atau supplier tertentu yang tidak melakukan tindakan yang dikehendaki oleh pemboikot. Jadi tindakan pemboikotan bisa merupakan untuk memaksa agar mengikuti perbuatan si pemboikot atau bisa pula merupakan suatu hukuman bagi pelanggar.
Pemboikotan ini diatur dalam pasal 10 undang undang Nomor 5 Tahun 1999.
Contoh kasusnya ; Secara singkat duduk persoalan dalam kasus ini adalah sebagai berikut.Pelapor dalam kasus ini adalah Northwest Wholsale Stationers adalah sebuahkoperasi agen pembelian yang terdiri dari kurang lebih retailer  alat-alat kantor di Pacifc Northwest US. Koperasi bertindak sebagai
retailer  utama bagi retail-retaillainnya.Retailer  yang bukan anggota dapat membeli alat-lata kantor dengan hargayang sama dengan anggota. Namun pada setiap akhir tahun koperasi membagikankeuntungan kepada anggotanya dalam bentuk percentase rebate  dalam pembelian.Sehingga sebenarnya anggota membeli lebih rendah dari non anggota. Sementara Terlapor Pacifc Stationery Co. adalah menjual alat kantor baik retail maupun wholesale . Pacifc menjadi anggota Northwest sejak tahun 1958. Pada tahun 1978 Northwest merubah anggaran dasarnya dengan melarang anggotanyamenjual retail dan wholesale  . Suatu klausula menjamin hak Pacic untuk menjadianggota. Pada tahun 1977 kepemilikan Pacic berpindah tangan, namun pemilik baru ini tidak melakukan perubahan kegiatannya, hal mana bertentangan dengananggaran dasar Northwest. Pada tahun 1978 sebagian besar anggota Northwest 140 472 US 284 (1985) memutuskan untuk mengeluarkan Pacic. Pacic kemudian membawa perkara ini ke pengadilan berdasarkan group boycott  yang membatasi kemampuan Paciifcuntuk berkompetisi karena harus dinyatakan melanggar hukum persiangan secara per se illegal .Pengadilan Negeri menyatakan tidak terdapat pelanggaran hukumpersaingan secaraper se illegal  karenanya harus dipreriksa secara rule of reason Namun Pengadilan Banding menyatakan bahwa Northwest melanggar Sherman Act secara per se illegal 
.
6. Kartel
Dalam suatu struktur pasar yang kompetitif, dimana pelaku usaha yangberusaha di dalam pasar tersebut jumlahnya banyak, serta tidak ada hambatanbagi pelaku usaha untuk masuk kedalam pasar, membuat setiap pelaku usahayang ada di dalam pasar tidak akan mampu untuk menyetir harga sesuai dengankeinginannya, mereka hanya menerima harga yang sudah ditentukan oleh pasardan akan berusaha untuk berproduksi secara maksimal agar dapat mencapai suatutingkat yang efesien dalam berproduksi. Namun sebaliknya dalam pasar yangberstruktur oligopoli, dimana di dalam pasar tersebut hanya terdapat beberapapelaku usaha saja, kemungkinan pelaku usaha berkerjasama untuk menentukanharga produk dan jumlah produksi dari masing-masing pelaku usaha menjadi lebihbesar. Oleh karena itu biasanya praktek kartel dapat tumbuh dan berkembang padapasar yang berstruktur oligopoli, dimana lebih mudah untuk bersatu dan menguasaisebagian besar pangsa pasar.
 Praktek kartel merupakan salah satu strategi yang diterapkan diantarapelaku usaha untuk dapat mempengaruhi harga dengan mengatur jumlah produksimereka. Mereka berasumsi jika produksi mereka di dalam pasar dikurangi sedangkanpermintaan terhadap produk mereka di dalam pasar tetap, akan berakibat kepadanaiknya harga ke tingkat yang lebih tinggi. Dan sebaliknya, jika di dalam pasar produkmereka melimpah, sudah barang tentu akan berdampak terhadap penurunan hargaproduk mereka di pasar. Oleh karena itu, pelaku usaha mencoba membentuk suatukerjasama horizontal (pools) untuk menentukan harga dan jumlah produksi barangatau jasa. Namun pembentukkan kerjasama ini tidak selalu berhasil, karena paraanggota seringkali berusaha berbuat curang untuk keuntungannya masing-masing
Larangan perjanjian kartel ini diatur dalam pasa 11 undang undang nomor 5 tahun 2005
Contoh kasusnya ; contoh kasus mengenai kartel yang pernah diputus oleh KPPUyaitu Putusan No. 03/KPPU-I/2003 mengenai Kargo Surabaya-Makasar. Adapunduduk perkaranya adalah sebagai berikut Tujuh perusahaan pelayaran yaitu PT.Meratus, PT. Tempuran Emas, PT. Djakarta Lloyd, PT. Jayakusuma Perdana Lines,PT. Samudera Indonesia, PT. Tanto Intim Line, dan PT. Lumintu Sinar Perkasa padaRapat Pertemuan Bisnis di Ruang Rapat MPH I Hotel Elmi Surabaya pada hariSenin tanggal 23 Desember 2002 yang dihadiri para Terlapor, Saksi I dan SaksiIII telah disepakati penetapan tarif dan kuota yang kemudian dituangkan dalamBerita Acara Pertemuan Bisnis di Hotel Elmi Surabaya dan masing-masing pihakmengakui dan membubuhkan tanda tangan atas dokumen kesepakatan tarif dankuota. Pelaksanaan kesepakatan tahap I mulai berlaku sejak 1 Januari 2003sampai dengan 31 Maret 2003.Unsur Pasar 11 UU No. 5 Tahun 1999 pada intinya adalah adanya kesepakatanantar perusahaan yang bersaing untuk mengatur produksi dan atau pemasaransuatu barang atau jasa yang ditujukan untuk mempengaruhi harga dan dapatmengakibatkan terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat.Dengan ditetapkannya kuota bongkar muat tersebut, para Terlapor telahmengatur produksi jasa pengangkutan laut khusus barang (kargo) dari paraTerlapor yang melayani jalur Surabaya – Makassar – Surabaya dan Makassar –Jakarta – Makassar, yang bertujuan mencegah terjadinya perang harga.

 
Disamping itu dengan ditetapkannya kuota bongkar muat peti kemas tersebut paraTerlapor telah melakukan tindakan yang meniadakan persaingan usaha antaraanggota kartel. Dengan demikian para Terlapor telah melakukan praktek usahapersaingan tidak sehat sehingga melanggar Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5Tahun 1999 

7.Oligopsoni
Oligopsoni adalah merupakan bentuk suatu pasar yang di dominasi olehsejumlah konsumen yang memiliki kontrol atas pembelian. Struktur pasar inimemiliki kesamaan dengan struktur pasar oligopoli hanya saja struktur pasar initerpusat di pasar input. Dengan demikian distorsi yang ditimbulkan oleh kolusiantar pelaku pasar akan mendistorsi pasar input.

  Oligopsoni merupakan salah satu bentuk praktek anti persaingan yang cukupunik, karena dalam praktek oligopsoni yang menjadi korban adalah produsenatau penjual, dimana biasanya untuk bentuk-bentuk praktek anti persaingan lain(seperti price fixing ,price discrimination , kartel, dan lain-lainnya) yang menjadi korban umumnya konsumen atau pesaing. Dalam oligopsoni, konsumen membuatkesepakatan dengan konsumen lain dengan tujuan agar mereka secara bersama-sama dapat menguasai pembelian atau penerimaan pasokan, dan pada akhirnyadapat mengendalikan harga atas barang atau jasa pada pasar yang bersangkutan.Terdapat beberapa syarat agar oligopsoni dapat berhasil. Pertama, pelakuusaha harus setuju baik secara tegas maupun secara diam-diam untuk bertindakbersama. Kedua, mereka haruslah merupakan pembeli dalam jumlah yang besaratau dominan. Ketiga, adanya mekanisme agar perjanjian ditaati dan tidak adakecurangan. Terakhir, mereka harus mampu mencegah masuknya pemain baru,karena apabila pemain baru bisa masuk, maka perjanjian oligopsoni tidak akanefektif. Oligopsoni sebenarnya merupakan bagian dari kartel yaitu kartel pembelian.Seperti pada Kartel, maka oligopsoni juga ada yang pro persaingan dan ada yang merugikan persaingan.
Larangan praktek oligopsoni ini diatur dalam pasal 12 Undang Undang Nomor 5 tahun 1999.
Contoh kasus ; Pada kesempatan ini juga akan dijelaskan lebih lanjut dengan membahaskasus oligopsoni In re BEEF INDUSTRY ANTITRUST LITIGATION MDL DOCKET NO.248. MEAT PRICE INVESTIGATORS ASSOCIATION, an Iowa unincorporated associationand trust , et al., Plaintiffs-Appellants, vs. IOWA BEEF PROCESSORS, INC. (nowknown as IBP, Inc.), a Delaware Corporation, et al., Defendants-Appellees (No.89-1483.Aug. 1,1990. Adapun secara ringkas kasusnya adalah sebagai berikut.Assosasi Investigator Harga Daging dan beberapa peternak sapi, mengajukan IowaBeef Processors, Inc., Excel Corporation dan The National Provisioners, Inc. (The Yellow Sheet  ke Pengadilan pada tahun 1977. Adapun yang menjadi alasanadalah bahwa retailer  dan packers  (pengepak) melakukan konspirasi baik secarahorisontal maupun vertikal untuk menurunkan harga dari sapi.Mereka mendalilkan bahwa konspirasi ini mengikuti skema penetapanharga. The National Provisioner  mempublikasikan setiap hari harga produk sapipada the Yellow Sheet  The Yellow Sheet  mendasarkan publikasinya laporan dariharga komoditas tersebut pada saat itu. Para pengepak menggunakan harga the Yellow Sheet  untuk menentukan harga yang mereka tawarkan kepada peternaksapi.Pengepak mendalilkan bahwa seperti ditemukan oleh Pengadilan Negeri,bahwa the Yellow Sheet  adalah informasi publik yang dapat dibeli dan digunakanoleh semua pihak. Mereka juga mendalilkan bahwa peternak sapi tidak mempunyaibukti bahwa telah terjadi parallel pricing  oleh IBP dan Excel yang merupakanindependen bisnis.Tergugat juga mempunyai bukti yang cukup, bahwa the Yellow Sheet   adalah merupakan salah satu faktor, masih terdapat faktor-faktor lain yangmenjadi pertimbangan pengepak dalam menentukan harganya yaitu: Pertamakebutuhan pengepak itu sendiri untuk menentukan kebutuhannya akan dagingsetiap minggunya, termasuk dalam hal ini kontrak dengan buruh yang tetap harusdibayar terlepas ada pekerjaan atau tidak; Kedua kondisi pasar pada saat itu apakah over supply  atau tidak; Ketiga, persaingan harga antara pengepak; Keempat adalah harga berdasarkan pasar produk yang dapat memaksapengepak membayar lebih mahal atau lebih murah dari daftar harga dalam the Yellow Sheet  .Berdasarkan pada fakta-fakta tersebut, maka Pengadilan Banding menolakklaim dari peternak sapi. Apabila Penggugat mendalilkan adanya concious paralellism  , maka syaratnya haruslah terdapat parralel antar tergugat. Pengadilan menyatakan bahwa tidak terdapat paralellism antara para tergugat.

8. Integrasi vertikal
Dalam melakukan kegiatan usahanya pelaku usaha tentu akan melakukanhubungan-hubungan dengan pihak lainnya, baik dengan para kompetitornya maupundengan para pemasok. Hubungan-hubungan ini adalah hal yang wajar dan memangharus dilakukan oleh pelaku usaha untuk menjalankan usahanya. Namun, ketika suatupelaku usaha ingin pangsa pasar yang dimilikinya menjadi lebih besar, pertumbuhanperusahaan dan perolehan laba yang semakin meningkat, tingkat efesiensi yangsemakin tinggi dan juga untuk mengurangi ketidakpastian akan pasokan bahanbaku yang dibutuhkan dalam berproduksi dan pemasaran hasil produksi, biasanyaperusahaan akan melakukan penggabungan ataupun kerjasama dengan pelaku-pelaku usaha lain yang secara vertikal berada pada level yang berbeda pada prosesproduksi, maka kerjasama ini disebut integrasi vertikal. Jadi integrasi vertikalterjadi ketika satu perusahaan melakukan kerjasama dengan perusahaan lain yangberada pada level yang berbeda dalam suatu proses produksi, sehingga membuatseolah-olah mereka merupakan satu perusahaan yang melakukan dua aktivitasyang berbeda tingkatannya pada satu proses produksi.
Kalau pelaku usaha ingin meningkatkan penghasilan (revenue) , biasanya yangumum dilakukan adalah dengan cara meningkatkan produksi. Namun bagi perusahaanyang sudah berproduksi dalam kapasitas penuh, rasanya sangat sulit untuk dapatmeningkatkan penghasilan yang lebih tinggi lagi. Dalam hal ini, maka peningkatanproduksi hanya dapat dilakukan pelaku usaha tersebut dengan meningkatkan skalaperusahaannya. Terjadi peningkatan dalam skala perusahaan akan memberikanpengaruh terhadap peningkatan produksi yang pada akhirnya dapat meningkatkankeuntungan yang lebih tinggi lagi dibandingkan sebelum pelaku usaha tersebutmeningkatkan skala perusahaannya. Salah satu jalan yang dilakukan pelaku usahauntuk meningkatkan skala perusahaan adalah melalui penggabungan/integrasidengan perusahaan lain yang berada pada level yang berbeda.
Larangan praktek integrasi vertikal ini diatur dalam pasal 14 Undang undang No.5 tahun 1999
Contoh kasus ; alah satu kasus yang pernah diputus oleh KPPU adalah apa yang dikenaldengan kasus Abacus yaitu Putusan No. 01/KPPU-L/2003. Terlapor dalam kasusini adalah PT. (Persero) Perusahaan Penerbangan Garuda Indonesia (disingkat“Garuda Indonesia”).Adapun duduk perkara adalah sebagai berikut. Bahwa Terlapor adalahbadan usaha yang berbentuk badan hukum dengan kegiatan usaha antara lainmelaksanakan penerbangan domestik dan internasional komersial berjadwaluntuk penumpang serta jasa pelayanan sistem informasi yang berkaitan denganpenerbangan. Untuk mendukung kegiatan usaha penerbangannya tersebut,Terlapor mengembangkan sistem ARGA sebagai sistem informasi pengangkutanudara domestik. Sedangkan untuk sistem informasi penerbangan internasional,Terlapor bekerjasama dengan penyedia CRS dalam bentuk perjanjian distribusiSistem informasi ini digunakan oleh biro perjalanan wisata untuk melakukanreservasi danbooking tiket penerbangan Terlapor secaraonline . Bahwa akibatkrisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997, semakin menambah beban keuanganTerlapor yang memaksanya untuk melakukan pemotongan biaya-biaya.Salah satu upaya yang dilakukan adalah menarik dumb terminal Terlapor disetiap biro perjalanan wisata, yang kemudian menyertakan sistem ARGA di dalamterminalAbacus. Bahwa pada tanggal 28 Agustus 2000, Terlapor dan Saksi Imenyepakati pendistribusian tiket domestik Terlapor di wilayah Indonesiahanyadilakukan dengan dual access melalui terminal Abacus.Kebijakandual access tersebut tidak dituangkan dalam perjanjian tertulis.Hal ini telah diakuioleh Terlapor dan dikuatkan oleh dokumen yang diserahkanoleh Saksi I kepada Majelis Komisi. Kesepakatan tersebut di atas ditempuh karenabiaya transaksi penerbangan internasional dengan menggunakan sistem Abacuslebih murah.Dual access hanya diberikan kepada Saksi I sebagai penyedia sistemAbacus bertujuan agar. Terlapor dapat mengontrol biro perjalanan wisata diIndonesia dalam melakukan reservasi danbooking tiket penerbangan. Semakinbanyak biro perjalanan wisata di Indonesia yang menggunakan sistem Abacusuntuk melakukan reservasi dan booking penerbangan internasional Terlaporyang pada akhirnya akan mengurangi biaya transaksi penerbangan internasionalTerlapor.Terlapor hanya akan menunjuk biro perjalanan wisata yang menggunakansistem Abacus sebagai agen pasasi domestik. Posisi Terlapor yang menguasaipenerbangan domestik dan kemudahan untuk menjadi agen maskapai lain,menjadi daya tarik bagi biro perjalanan wisata untuk menjadi agen pasasidomestik Terlapor. Bahwa sistem ARGA yang hanya disertakan pada terminalAbacus mengakibatkan sistem lain mengalami kesulitan untuk memasarkanke biro perjalanan wisata karena biro perjalanan wisata lebih memilih sistemAbacus yang memberi kemudahan untuk memperoleh sambungan sistem ARGA.Untuk mendukung kebijakandual access , Terlapor menambahkan persyaratanbagi biro perjalanan wisata agar dapat ditunjuk sebagai agen pasasi domestik,yaitu menyediakan sistem Abacus terlebih dahulu untuk selanjutnya mendapatkanterminal ID biro perjalanan wisata yang bersangkutan/dibuka sambungan kesistem ARGA ( persyaratan Abacusconnection ).KPPU Berpendapat bahwa PT Garuda Indonesia telah melanggar Pasal 14UU NO. 5 tahun 1999 karena telah melakukan penguasaan serangkaian prosesproduksi atas barang tertentu mulai dari hulu sampai hilir atau proses berlanjutatas suatu layanan jasa tertentu oleh pelaku usaha tertentu. Praktek integrasivertikal meskipun dapat menghasilkan barang dan jasa dengan harga murah,tetapi dapat menimbulkan persaingan usaha tidak sehat yang merusak sendi-sendiperekonomian masyarakat. Praktek seperti ini dilarang sepanjang menimbulkanpersaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat. Dengan kegiatanusaha Terlapor adalah melaksanakan penerbangan komersial berjadwal untukpenumpang domestik dan internasional dengan mengoperasikan pesawat sebagaisarana pengangkutan. Bahwa dalam perkara ini, penguasaan proses yang berlanjutatas suatu layanan jasa tertentu oleh Terlapor adalah penguasaan proses yangberlanjut atas layanan informasi dan jasa distribusi tiket penerbangan domestikdan internasional Terlapor.

9. Perjanjian tertutup
Perjanjian tertutup atau (excusive dealing)
            adalah suatu perjanjian yangterjadi antara mereka yang berada pada level yang berbeda pada proses produksiatau jaringan distribusi suatu barang atau jasa.
Ekslusif dealing atau perjanjiantertutup ini terdiri dari:
a. Exclusive Distribution Agreement
yang dimaksud disini adalah pelaku usaha membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratanbahwa pihak yang menerima produk hanya akan memasok atau tidak memasok kembali produk tersebut kepada pihak tertentu atau pada tempat tertentu saja,atau dengan kata lain pihak distributor dipaksa hanya boleh memasok produkkepada pihak tertentu dan tempat tertentu saja oleh pelaku usaha manufaktur. 

b.Tying Agreement 
terjadi apabila suatu perusahaan mengadakan perjanjiandengan pelaku usaha lainnya yang berada pada level yang berbeda denganmensyaratkan penjualan ataupun penyewaan suatu barang atau jasa hanyaakan dilakukan apabila pembeli atau penyewa tersebut juga akan membeli ataumenyewa barang lainnya.

c. Vertical Agreement on Discount 
Pasal 15 ayat (3) Undang-undang No. 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa:“pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau potongan hargatertentu atas barang dan/atau jasa yang memuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima barang dan/atau jasa dari usaha pemasok:
a. Harus bersedia membeli barang dan/atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok atau;
b. Tidak akan membeli barang dan/atau jasa yang sama atau sejenis daripelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok.
Dengan kata lain, apabila pelaku usaha ingin mendapatkan harga diskonuntuk produk tertentu yang dibelinya dari pelaku usaha lain, pelaku usahaharus bersedia membeli produk lain dari pelaku usaha tersebut atau tidak akanmembeli produk yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadipesaing.Akibat yang mungkin muncul dari perjanjian di atas, khususnya mengenaiadanya kewajiban bagi pelaku usaha yang menerima produk dengan harga diskon,yang kemudian diharuskan untuk membeli produk lain dari pelaku usaha pemasoksebenarnya sama dengan akibat yang ditimbulkan oleh
tying agreement 
, yaitu menghilangkan hak pelaku usaha untuk secara bebas memilih produk yang inginmereka beli, dan membuat pelaku usaha harus membeli produk yang sebenarnyatidak dibutuhkan oleh pelaku usaha tersebut
Contoh kasus ; Pada kesempatan ini akan dibahas mengenai Pasal 15 ayat 1. Pada kasus ini Terlapor I, Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V, Terlapor VI, TerlaporVII, Terlapor VIII, Terlapor IX, dan Terlapor X membentuk Konsorsium DistributorSemen Gresik Area 4. Konsorsium ini diduga melakukan pelanggaran atas UU No. 5tahun 1999 dalam bentuk mewajibkan para Langganan Tetap (LT) di Area 4 untukmenjual Semen Gresik. Pelanggaran terhadap Pasal 15 ayat (1) Undang-undangNomor 5 Tahun 1999 yang dilakukan oleh Konsorsium dalam bentuk himbauankepada LT untuk bersedia hanya menjual Semen Gresik saja.Bahwa adanya aturan yang diterapkan oleh Konsorsium tentang laranganbagi LT menjual merek semen selain Semen Gresik, menyebabkan salah satu LT diArea 4 mengajukan permohonan pengunduran diri sebagai LT kepada Terlapor XIkarena menjual semen merek lain selain Semen Gresik dan dianggap oleh oknum-oknum Terlapor XI kurang menguntungkan bagi Terlapor XI. Bahwa sebelum adaKonsorsium, LT dapat membeli Semen Gresik kepada Distributor yang mana sajadan dapat melakukan negosiasi harga, namun setelah ada Konsorsium, LT hanyabisa membeli kepada Distributor tertentu dengan harga yang telah ditetapkan.Terlapor mendalilkan bahwa maksud pembentukan Konsorsium adalahuntuk menghadapi para LT dan toko yang sering “mengadu domba” Terlapor I,Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V, Terlapor VI, Terlapor VII, TerlaporVIII, Terlapor IX, dan Terlapor X yang mengakibatkan terjadinya perang harga antarDistributor. Bahwa tujuan pembentukan Konsorsium adalah untuk menghilangkanperang harga di antara para Anggota Konsorsium.Namun KPPU menyatakan bahwa Terlapor I, Terlapor II, Terlapor III, TerlaporIV, Terlapor V, Terlapor VI, Terlapor VII, Terlapor VIII, Terlapor IX, Terlapor X, danTerlapor XI terbukti secara sah dan meyakinkan telah melanggar Pasal 15 ayat(1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999;

10.Trust
Untuk dapat mengontrol produksi atau pemasaran produk di pasar ternyatapara pelaku usaha tidak hanya cukup dengan membuat perjanjian kartel diantaramereka, tetapi mereka juga terkadang membentuk gabungan perusahaan atauperseroan yang lebih besar
(trust) 
, dengan tetap menjaga dan mempertahankankelangsungan hidup masing-masing perusahaan atau perseroan anggotanya.
Trust sebenarnya merupakan wadah bagi pelaku usaha yang didisain untukmembatasi persaingan dalam bidang usaha atau industri tertentu. Gabunganantara beberapa perusahaan yang bersaing dengan membentuk organisasi yanglebih besar yang akan mengendalikan seluruh proses produksi dan atau pemasaransuatu barang. Suatu
Trust  terjadi dimana sejumlah perusahaan menyerahkan sahammereka pada suatu “badan trustee  ” yang kemudian memberikan sertikat dengan nilai yang sama kepada anggota trust 
Trust pertama yang sangat terkenal adalah Standard Oil yang terbentuk pada tahun 1882, yang kemudian diikuti olehbanyak industri lainnya. Hal ini menyebabkan banyaknya kemajuan-kemajuan diAmerika. Namun, karena trust  juga mengakibatkan adanya pemusatan kekuasaan,maka trust dianggap suatu yang melanggar hukum. Undang-undang No.5/1999, menyatakan bahwa trust merupakan salah satuperjanjian yang dilarang untuk dilakukan. Pasal 12 Undang-undang No. 5 Tahun1999 berbunyi: “pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan membentukgabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga danmempertahankan kelangsungan hidup masing-masing perusahaan atau perseroananggotanya yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan/atau pemasaran atasbarang dan/atau jasa, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopolidan/atau persaingan usaha tidak sehat.
Contoh kasus ; Salah satu putusan landmark  mengenai Trust ini adalah kasus StandardOil Company of New Jersey vs. United States. Secara singkat kasusnya adalahsebagai berikut: Para Tergugat didakwa melakukan konspirasi untuk menghambatperdagangan minyak, penyulingan minyak dan produk-produk minyak lainnya.Konspirasi telah dimulai sejak tahun 1870 oleh ketiga dari Terdakwa yaitu John D.Rockeffeller, William Rockefeller dan Hendri M. Flagler. Adapun masa konspirasiini dibagi dalam tiga periode yaitu tahun 1870 – 1882, dari tahun 1882 – 1899 dan1899 – sampai adanya perkara.Pada tahun 1870 – 1882, John D. Rockefeller dan William Rockefellerdan beberapa orang lainnya membuat tiga partnership yang bergerak dibidangperminyakan dan mengapalkannya kebeberapa Negara bagian. Pada tahun 1870dibentuklah Standard Oil Company of Ohio dan ketiga partnership  ini digabungkandalam perusahaan ini dan menjadi milik bersama sesuai dengan sahamnyamasing-masing. Bahwa sejak itu telah dilakukan penggabungan-penggabungan.Sejak tahun 1872 perusahaan tersebut telah mendapatkan pangsa pasar yangsubstansial kecuali 3 atau 4 dari 35 atau 40 penyulingan minyak yang berlokasi diCleveland, Ohio. Berdasarkan pada kekuatan ini, dan sesuai dengan tujuannya untukmembatasi dan memonopoli perdagangan baik antar Negara bagian maupun padaNegara bagian tersebut, maka anggota mendapatkan banyak kemudahaan baik dariharga, transport (railroad)  dibandingkan kompetitornya. Hal ini memaksa kopetitoruntuk menjadi bagian dari perjanjian atau menjadi bangkrut. Para pihak yangtergabung pada saat itu telah menguasai 90% dari bisnis produksi, pengapalan,penyulingan dan penjualan minyak dan produknya.Pada periode kedua yaitu tahun 1882 – 1899 dimana saham dari 40perusahaan termasuk Standard Oil Company of Ohio diletakkan pada suatu Trustee   dan ahli warisnya untuk kepentingan semua pihak secara bersama. Perjanjian ini dibuat dengan mengeluarkan sertikat Standard Oil Trust. Setelah itu Trustee  jugamembuat atau mengorganisir Standard Oil Company of New jersey dan Standard OilCompany of New York. Akhirnya MA pada tanggal 2 Maret 1892 menyatakan bahwa Trustee  ini batal demi hukum karena perjanjian tersebut menghambat perdagangandan berpuncak pada pembentukan monopoli yang melanggar hukum

11. Perjanjian dengan pihak luar negri
Terdapat beberapa persoalan sehubungan dengan pemberlakuan Undang-undang suatu negara terhadap orang atau badan hukum yang berada diluar negeri,yaitu; pertama, apakah KPPU dan pengadilan Indonesia dapat memeriksa pelanggaran   atas UU No. 5 Tahun 1999 yang dilakukan oleh pelaku usaha yang berada danmelakukan kegiatan di negara lain. Apabila Hukum Persaingan Usaha dapat berlakupada pelaku usaha yang berada pada wilayah negara lain, apakah tidak lebihbaik diselesaikan secara diplomasi. Kedua, kemungkinan tidak tepatnya pengadilanuntuk memeriksa hubungan antara satu negara dengan negara-negara lainnyadalam hubungannya dengan perusahaan yang melakukan kegiatannya di negaratersebut. Ketiga, kemungkinan adanya kekebalan hukum atau kedaulatan suatunegara yang mempunyai saham pada perusahaan tersebut. Keempat, kemungkinanakan menimbulkan tindakan yang tidak fair atas pelaku usaha yang bertindakdengan itikad baik dan dilakukan berdasarkan kebijakan dari negara-negara yangberbeda. Kelima, kesulitan untuk mengontrol atau mengawasi keadaan yang ada diluar negeri dengan suatu kebijakan lokal. Terakhir, adanya kesulitan untukmenjatuhkan putusan yang tepat, mengigat rumitnya masalah-masalah persainganusaha, ditambah dengan kondisi pasar internasional, perbedaan adat istiadat, danbesarnya perbedaan situasi dan kondisi ekonomi negara tersebut masing-masing.
 Berdasarkan pada hal-hal tersebut, maka wajarlah apabila terdapat perbedaanpandangan mengenai keberlakuan Hukum Persaingan Suatu Negara pada wargaNegara atau pelaku usaha Negara lainnya.Pasal 16 UU No. 5 Tahun 1999 menyebutkan bahwa pelaku usaha dilarangmembuat perjanjian dengan pihak lain di luar negeri yang memuat ketentuan yangdapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidaksehat. Dapat dikatakan pasal ini mengatur suatu keadaan khusus apabila pelakuusaha di dalam negeri melakukan perjanjian dengan pihak pelaku usaha di luar negeri.

Contoh kasus ; Kasus Temasek ini merupakan kasus kedua yang memberlakukan HukumPersaingan Usaha Indonesia terhadap perusahaan yang didirikan, berkedudukan dan melakukan kegiatan bisnisnya melalui wilayah di luar negara Republik Indonesiaadalah perkara No. 07/KPPU-L/2007 atau yang lebih dikenal dengan Kasus Temasek.Dalam kasus ini yang menjadi terlapor dan berada di luar negeri adalah delapanperusahaan yang berada di Singapore dan satu perusahaan yang berada di Mauritiusyaitu; Temasek Holding Pte.Ltd., Singapore, Singapore Technologies Telemedia Pte.Ltd., Singapore, STT Communications Ltd, Singapore, Asia Mobile Holding Pte.Ltd., Singapore, Asia Mobile Holding Pte.Ltd., Singapore, Indonesian CommunicationLimited, Mauritius, Indonesian Communication Pte.Ltd., Singapore, SingaporeTelecommunication Ltd., Singapore, dan Singapore Telecom Mobile Pte.Ltd., Singapore.Kesemua perusahaan ini dikenal dengan Temasek Group atau Kelompok Temasek.Kelompok Temasek melalui anak perusahaannya yaitu STT memilikisaham sebesar 41,94% saham pada PT. Indosat, dan melalui Singtel memilikisaham sebesar 35% pada PT. Teleksel. Kelompok Temasek oleh Komisi PengawasPersaingan Usaha kemudian dinyatakan bersalah melanggar Pasal 27 a. karenatelah melakukan kepemilikan silang terhadap Telkomsel dan Indosat sehinggamengakibatkan dampak anti persaingan usaha dalam pelayanan telekomunikasiseluler di Indonesia. Temasek juga dinyatakan melanggar Pasal 17 ayat 1 karenamelaksanakan hambatan interkoneksi dan mempertahankan harga tinggi sehinggamenyebabkan dampak anti persaingan usaha.Kelompok Temasek mendalilkan bahwa KPPU tidak berwenang memeriksaKelompok Temasek karena didirikan bukan berdasarkan Hukum Indonesia dan tidak melakukan aktivitasnya di Indonesia. Hal ini diperkuat dengan pendapat Hikmahanto Juwana yang menyatakan bahwa KPPU tidak dapat menggunakan yurisdiksi teritorial karena hukum Indonesia tidak mengakui konsep ekonomi tunggal. Lebih lanjutbeliau menyatakan bahwa KPPU juga tidak dapat menggunakan yurisdiksi personalkarena STT tidak didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan bukanlah suatuentitas Indonesia. KPPU juga tidak dapat menggunakan yurisdiksi universal olehkarena yurisdiksi tersebut hanya berlaku terbatas pada kejahatan internasional. Namun KPPU berpendapat bahwa KPPU berwenang melakukan pemeriksaanterhadap Kelompok Temasek yang pada intinya dengan alasan, diantaranya; bahwaKelompok Temasek adalah badan usaha sehingga memenuhi unsur setiap orangatau badan usaha sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 poin 5 UU No. 5Tahun 1999, yang berdasarkan pada prinsip “single economic entity doctrine”  dinyatakan bahwa hubungan induk perusahaan dengan anak perusahaan dimanaanak perusahaan tidak mempunyai independensi untuk menentukan arah kebijakanperusahaan. Konsekuensi dari prinsip ini, maka pelaku usaha dapat dimintakanpertanggung jawaban atas tindakan yang dilakukan oleh pelaku usaha lain dalamsatu kesatuan ekonomi, meskipun pelaku usaha yang pertama beroperasi di luaryurisdiksi Hukum Persaingan Usaha suatu negara, sehingga hukum persainganusaha dapat bersifat extraterritorial



















Daftar pustaka ;

·         Kusumawati lanny. (2010). Aspek hukum dalam persaingan usaha. Surabaya. Laros
·         Undang Undang republik indonesia nomor 5 tahun 1999
·         http://id.scribd.com/doc/36712436/43/ 15/12/2012 (20.00)
·         http://www.stialanbandung.ac.id 20/12/2012 (22.35)