Senin, 11 November 2013

analisis perbatasan republik Indonesia dan malaysia



1.Latar belakang
Hubungan dua bangsa serumpun Indonesia-Malaysia kini tengah mencapai titik paling kritis. Sejak Petronas, perusahaan minyak milik Malaysia, memberikan konsesi pengeboran minyak di lepas pantai Sulawesi yaitu di Blok Ambalat kepada Shell (perusahaan milik Inggris dan Belanda), hubungan kedua negara tetangga tersebut mengalami ketegangan yang mencemaskan. sudah beberapa kali kapal-kapal perang RI dan Malaysia berhadap-hadapan, nyaris baku tembak. Untung keduanya masih menahan diri. Seandainya salah satu pihak menembak, niscaya perang terbuka akan meletus. Jika sudah demikian, hubungan RI-Malaysia pun akan makin tegang dan menyeret konflik yang lebih luas.Yang menjadi pertanyaan kita: kenapa Malaysia punya sikap senekat itu tanpa mengindahkan tatakrama hubungan antarnegara ASEAN? Pertanyaan itu agaknya tak mudah dijawab. Banyak hal yang menyebabkan kenapa negeri jiran itu tiba-tiba berambisi menduduki Ambalat. Salah satunya, karena di Blok Ambalat terkandung minyak dan gas bumi yang nilainya amat besar, mencapai miliaran dolar. Tapi ada alasan lain yang tampaknya menjadi pertimbangan dalam pendudukan Ambalat: Indonesia tengah mengalami krisis kepercayaan, korupsi, dan pengikisan dari dalam sehingga posisi Indonesia jika berkonflik dengan Malaysia niscaya kalah! Malaysia secara geografis dan populasi memang kecil, bukan tandingan Indonesia. Tapi dilihat secara militer khususnya jumlah peralatan militer canggih Malaysia unggul dibanding Indonesia. Malaysia punya uang, tak punya utang, dan sewaktu-waktu bisa membeli peralatan militer secara kontan. Jadi meski secara kuantitas dia kecil, tapi secara kualitas dia besar.
Kasus Ambalat secara tiba-tiba menyadarkan kita dari mabuk eforia dan terlena oleh berbagai permasalahan dalam negeri yang belum menemukan solusinya (inward looking) bahwa selain itu kita juga perlu menaruh perhatian kita terhadap masalah yang datang dari luar (outward looking). Akibat dari keterlambatan kita dalam menghadapi sesuatu akan memuat kita gelagapan dan dengan setengah sadar menghadapinya. Seperti halnya apa yang sedang hangat dewasa ini kita hadapi yaitu munculnya klaim Malaysia terhadap Blok Ambalat di Laut Sulawesi. Reaksi kita seperti orang yang dibangunkan dari tidur secara tiba-tiba --gelagapan, kita berobicara seperti setengah sadar dan dengan penuh emosional. Keluarlah kata-kata, ganyang Malaysia, serang Malaysia, hancurkan Malaysia, dan kata-kata keras lainnya. Dan secara tidak sadar pula tiba-tiba kita menyatakan bahwa kita membutuhkan TNI yang kuat agar TNI memberikan pukulan yang mematikan, agar TNI tidak ragu-ragu menghajar Malaysia, dan sebagainya.Demikian juga sebenarnya dalam menghadapi kasus Ambalat ini. Jelas bahwa kita wajib mempertahankan kedaulatan dan integritas tanah air kita, tidak sejengkal pun boleh jatuh ke tangan asing. Namun kebijaksanaan dan tindakan kita tetap harus rasional, proporsional, profesional, dan penuh kearifan. Sebelum menggunakan jalan kekerasan atau kekuatan militer (forcible means) sebagai jalan terakhir, sebaiknya tempuh dulu cara-cara damai atau diplomasi (peaceful means).Penyelesaian secara politis dengan mendahulukan perundingan melalui saluran-saluran diplomatisakan lebih baik. Memang jalan ini memerlukan kesabaran dan waktu, namun hasilnya akan jauh lebih baik bagi semua pihak ketimbang melalui jalan perang
2.Pembahasan
Menyikapi kasus Ambalat, yang perlu kita lakukan dengan segera adalah manuver-manuver politik oleh para diplomat kita dengan penuh percaya diri, keluwesan, dan keberanian. Apa yang dilakukan oleh TNI Angkatan Laut dan TNI Angkatan Udara pada saat sekarang sudah tepat dan harus terus ditingkatkan sebagai back up terhadap usaha-usaha diplomasi. Semua manuver atau "show of force" tersebut kita lakukan dalam rangka pertahanan negara, menjaga integritas dan kedaulatan negara dan aneksasi oleh negara asing, bukan untuk melakukan penyerangan karenakita bukan negara agresor. "Show of force" tersebut penting sekali sebagai tekanan psikologis kepada pihak Malaysia agar dapat menyelesaikan kasus tersebut melalui jalan perundingan dengan cepat, dan tidak berdasarkan ambisi dan keserakahan karena merasa sudah lebih kuat. Belajar dari kasus Sipadan dan Ligitan, karena kurang sabar melakukan usaha-usaha penyelesaian secara politis, melalui jalan diplomasi kasus itu berakhir dengan hasilyang sangat mengecewakan. Kalau saja kita tidak terburu-buru membawa kasus tersebut ke Mahkamah Internasional, dan kita lebih intensif melakukan perundingan-perundingan didukung oleh "show of force" TNI Angkatan Laut dengan patroli laut secara reguler dan singgah di kedua pulau tersbeut, atau menempatkan petugas administratifkita di sana, tentu hasilnya akan lain. Apalagi bila disertai dengan alasan-alasan politis lainnya (semangat ASEAN, keamanan regional, dan sebagainya) maka kedua pulau tersebut belum tentu menjadi milikMalaysia, paling tidak satu pulau akan tetap milik kita.
Dalam kasus Ambalat pun kita harus hati-hati menyelesaikan masalah ini. Penyelesaiannya harus ditinjau dari berbagai aspek, khususnya hukum laut internasional sesuai dengan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UN Convention on the Law of the Sea, 1982) dan perjanjian bilateral antara kedua pihak. Bila menyelesaikan kasus ini langsung dengan jalan kekerasan (perang), dampaknyaakan berat bagi Indonesia baik dari segi politik internasional maupun dari segi beban dalam negeri, khususnya dalam bidang perekonomian negara. Penyelesaian melalui perundingan yang diakhiri dengan persetujuan secara tertulis, baik secara langsung atau dengan mediasi, akan memiliki kekuatan hukum secara lebih pasti Reaksi keras dari pemerintah dan masyarakat bisa dipahami karena belum lagi sembuh luka bangsa Indonesia dengan terlepasnya dua pulau Sipadan dan Ligitan ke tangan Malaysia, kini Malaysia mencoba ‘merebut’ wilayah lain yang diyakini sebagai wilayah Indonesia. Meskipun secara historis kedua pulau tersebut juga bagian dari Kesultanan Bulungan, toh akhirnya International Court of Justice (ICJ) memenangkan Malaysia. Keputusan ini, salah satunya, karena Pemerintah Indonesia terbukti gagal memberi perhatian kepada pengelolaan lingkungan kedua pulau tersebut. Akankah si kaya minyak Ambalat bernasib sama dengan kedua kakaknya, Sipadan dan Ligitan? Nampaknya PemerintahIndonesia perlu berjuang ekstra keras dan luar biasa hati-hati dalam menghadapi persoalan ini. Untuk menyelesaikan persoalan klaim yang tumpang tindih ini, harus dilihat kembali rangkaian proses negosiasi antara kedua negara berkaitan dengan penyelesaian perbatasan di Pulau Kalimantanyang sesungguhnya telah dimulai sejak tahun 1974 (menurut Departeman Luar Negeri). Diketahui secara luas bahwa Perbatasan Indonesia-Malaysia di Laut Sulawesi, di mana Ambalat berada, memang belum terselesaikan secara tuntas. Ketidaktuntasan ini sesungguhnya sudah berbuah kekalahan ketika Sipadan dan Ligitan dipersoalkan dan akhirnya dimenangkan oleh Malaysia. Jika memang belum pernah dicapai kesepakatan yang secara eksplisit berkaitan dengan Ambalat maka perlu dirujuk kembali Konvensi Batas Negara tahun 1891 yang ditandatangani oleh Belanda dan Inggris sebagai penguasa di daerah tersebut di masa kolinialisasi. Konvensi ini tentu saja menjadisalah satu acuan utama dalam penentuan perbatasan antara Indonesia dan Malaysia di Kalimantan. Perlu diteliti apakah Konvensi tersebut secara eksplisit memuat/mengatur kepemilikan Ambalat. Hal ini sama halnya dengan penggunaan Traktat 1904 dalam penegasan perbatasan RI dengan Timor Leste




3.Pertanyaan tentang fakta dan hukum
1.Apakah dasar yang di miliki malaysia sehingga melakukan klaim akan blok ambalat?
2. Apakah berhak malaysia mengklaim blok ambalat yang kaya akan minyak itu?
3. Bagaimana awal mula persengketaan blok ambalat antar dua negara serumpun ini?
4.Apa bentuk aksi sepihak yang dilakukan malaysia sehingga memancing kemarahan rakyat indonesia
5. Apakah aksi sepihak yang dilakukan malaysia bisa dianggap sebagai pelanggaran internasional?
6. Potensi kekayaan alam di blok ambalat

4.Uraian pertanyaan
Dasar dilakukanya klaim malasia akan ambalat pernah di tegaskan oleh perdana menteri dan Menlu malaysia, Dalam sebuah artikel berjudul “Badawi: Konsesi Petronas Terletak di Malaysia” yang dimuat harian kompas edisi 1 maret 2005, Perdana Menteri Abdullah Badawi dan Menlu Syeh Hamid Albar menegaskan bahwa pihaknya tidak salah dalam melakukan uniteralisasi peta 1979, dan bahwa konsesi yang diberikan Petronas kepada Shell di perairan Laut Sulawesi berada di wilayah teritorial Malaysia.
Dapat kita lihat bahwa salah satu dasar klaim Malaysia terhadap blok Ambalat yang paling jelas adalah peta yang dikeluarkan oleh Malaysia secara unilateral pada tahun 1979 yang disebut Peta Baru 1979. Peta baru Malaysia 1979 terdiri atas 2 (dua) lembar peta namun dalam penulisan ini, pembahasan akan difokuskan pada lembar kedua peta baru Malaysia 1979 yang mencakup wilayah Malaysia di Utara Kalimantan.
Banyak ahli yang berpendapat bahwa peta baru 1979 lemah, Haller Trost misalnya, dalam tulisannya yang berjudul The Contested Maritime and Territorial Boundaries of Malaysia; An International Law Perspective menyebutkan bahwa peta ini memperlihatkan berbagai inkonsistensi terkait dengan kejelasan antara batas landas kontinen dan delimitasi laut territorial. Pada beberapa bagian delimitasi landas kontinen, ada batas yang sudah diatur oleh perjanjian internasional tetapi tidak digambarkan sebagai batas internasional, padahal sebagian besar perjanjian tersebut sudah diratifikasi sebelum peta tersebut dipublikasikan.
Peta baru Malaysia 1979 diduga kuat peta didasarkan pada ketentuan Konvensi 1958 (UNCLOS I), padahal dengan keluarnya United Nation Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982, peta baru Malaysia 1979 sudah tidak bisa diberlakukan lagi karena tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam konvensi ini. Pasal 311 United Nation Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 menyebutkan bahwa konvensi ini harus diutamakan dari konvensi-konvensi sebelumnya. Idealnya Malaysia mengeluarkan peta baru berdasarkan aturan UNCLOS 1982, namun begitu Malaysia tetap menyatakan bahwa Peta Baru Malaysia adalah peta nasional Malaysia.
Melalui Peta Baru 1979, Malaysia bahkan telah melanggar hak Indonesia sebagai negara kepulauan dalam hal penentuan baselines. Hal ini terkait dengan penentuan Karang Unarang sebagai salah satu basepoints Indonesia. Dalam Peta Baru 1979, Karang Unarang dimasukan dalam wilayah laut territorial Malaysia dan terletak di sebelah dalam garis yang dibentuk oleh TP 82 dan TP 81 dalam Peta Baru 1979.
Padahal Karang Unarang hanya berjarak 9 mil laut dari Pulau Sebatik sehingga jelas sekali bahwa Karang Unarang terletak di dalam sabuk 12 mil laut laut territorial Indonesia dimana Indonesia mempunyai kedaulatan penuh sesuai dengan ketentuan UNCLOS 1982. Selain itu, Karang Unarang merupakan elevasi pasang surut (low tide elevation) yang berhak dijadikan basepoints secara sah oleh Indonesia sesuai dengan Pasal 47 (4) UNCLOS 1982.
Apakah malaysia berhak untuk melakukan klaim atas blok ambalat?, Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu menggunakan dasar UNCLOS 1982 tadi. Nah, permasalahannya adalah, walaupun Indonesia dan Malaysia telah menandatangi dan meratifikasi UNCLOS dan mengklaim 12 mil territorial seas dan continental shelf dan juga EEZ (Exclusive Economic Zone) sejauh 200 mil, hanya satu pihak yang telah membuat klaim atas wilayah jurisdiksinya.
Negara Indonesia adalah negara kepulauan (archipelagic state) yang sudah lama diperjuangkan di forum internasional. Dalam UNCLOS 1982 pun, telah dicantumkan Bagian IV mengenai negara kepulauan. Konsepsi itu menyatukan wilayah kita. Di antara pulau-pulau kita tidak ada laut bebas, karena sebagai negara kepulauan, Indonesia boleh menarik garis pangkal dari titik-titik terluar pulau-pulau terluar. Hal itu diundangkan dengan UU No 6/1996 tentang Perairan Indonesia untuk menggantikan UU No 4/1960 sebagai implementasi UNCLOS 1982 dalam hukum nasional kita.
Namun, dalam UU No 6/1996 itu tidak ada peta garis batas Indonesia, yang ada hanya peta ilustratif. Padahal, menurut UNCLOS 1982, Indonesia harus membuat peta garis batas, yang memuat koordinat garis dasar sebagai titik ditariknya garis pangkal kepulauan Indonesia. Lalu timbul sengketa Sipadan-Ligitan, dan kita tergopoh-gopoh membuat Peraturan Pemerintah No. 38/2002, yang memuat titik-titik dasar termasuk di Pulau Sipadan-Ligitan. Tetapi PP itu harus direvisi karena ICJ (mahkamah international) memutuskan kedua pulau itu milik Malaysia.
Ada sebuah pendapat yang dinyatakan oleh seorang petinggi negara kita bahwa Malaysia bukanlah negara kepulauan sehingga tidak berhak atas laut teritorial. Ini pernyataan yang sangat keliru. Menurut Konvensi hukum laut, sebuah negara pantai (negara yang wilayah daratannya secara langsung bersentuhan dengan laut) berhak atas zona maritim laut teritorial, EEZ, dan landas kontinen sepanjang syarat-syarat (jarak dan geologis) memungkinkan. Dalam hal ini, tidak diragukan lagi bahwa Indonesia dan Malaysia yang sama-sama telah meratifikasi UNCLOS III memang berhak untuk mengklaim wilayah laut. Hanya saja, seperti dapat diduga, memang akan terjadi tumpang-tindih klaim antar kedua negara. Ambalat, di satu sisi, berada pada klaim tumpang tindih ini. Dengan demikian, Malaysia secara hukum memang berhak atas klaim tersebut.!
            Persoalan klaim diketahui setelah pada tahun 1967 dilakukan pertemuan teknis pertama kali mengenai hukum laut antara indonesia dan Malaysia. Kedua belah pihak bersepakat (kecuali Sipadan dan Ligitan diberlakukan sebagai keadaan status quo lihat: Sengketa Sipadan dan Ligitan). Pada tanggal 27 Oktober 1969 dilakukan penandatanganan perjanjian antara Indonesia dan Malaysia, yang disebut sebagai Perjanjian Tapal Batas Kontinental Indonesia - Malaysia, kedua negara masing-masing melakukan ratifikasi pada 7 November 1969, tak lama berselang masih pada tahun 1969 Malaysia membuat peta baru yang memasukan pulau Sipadan, Ligitan dan Batu Puteh (Pedra blanca) tentunya hal ini membingungkan Indonesia dan Singapura dan pada akhirnya Indonesia maupun Singapura tidak mengakui peta baru Malaysia tersebut. Kemudian pada tanggal 17 Maret 1970 kembali ditanda tangani Persetujuan Tapal batas Laut Indonesia dan Malaysia. Akan tetapi pada tahun 1979 pihak Malaysia membuat peta baru mengenai tapal batas kontinental dan maritim dengan yang secara sepihak membuat perbatasan maritimnya sendiri dengan memasukan blok maritim Ambalat ke dalam wilayahnya yaitu dengan memajukan koordinat 4° 10' arah utara melewati Pulau Sebatik. Indonesia memprotes dan menyatakan tidak mengakui klaim itu, merujuk pada Perjanjian Tapal Batas Kontinental Indonesia - Malaysia tahun 1969 dan Persetujuan Tapal batas Laut Indonesia dan Malaysia tahun 1970. Indonesia melihatnya sebagai usaha secara terus-menerus dari pihak Malaysia untuk melakukan ekspansi terhadap wilayah Indonesia. Kasus ini meningkat profilnya setelah Pulau Sipadan dan Ligitan, juga berada di blok Ambalat, dinyatakan sebagai bagian dari Malaysia oleh Mahkamah Internasional.
Bentuk bentuk aksi sepihak malaysia di blok ambalat:
 Tgl 21 Februari 2005 di Takat Unarang {nama resmi Karang Unarang) Sebanyak 17 pekerja Indonesia ditangkap oleh awak kapal perang Malaysia KD Sri Malaka,
* Angkatan laut Malaysia mengejar nelayan Indonesia keluar Ambalat.
* Malaysia dan Indonesia memberikan hak menambang ke Shell, Unocal dan ENI.
* Pada koordinat: [Tunjukkan letak di peta interaktif] 4°6′03.59″N 118°37′43.52″E / 4.1009972°N 118.6287556°E / 4.1009972; 118.6287556 terjadi ketegangan yang melibatkan kapal perang pihak Malaysia KD Sri Johor, KD Buang dan Kota Baharu berikut dua kapal patroli sedangkan kapal perang dari pihak Indonesia melibatkan KRI Wiratno, KRI Tongkol, KRI Tedong Naga KRI K.S. Tubun, KRI Nuku dan KRI Singa yang kemudian terjadi Insiden Penyerempetan Kapal RI dan Malaysia 2005, yaitu peristiwa pada tgl. 8 April 2005 Kapal Republik Indonesia Tedong Naga (Indonesia) yang menyerempet Kapal Diraja Rencong (Malaysia) sebanyak tiga kali, akan tetapi tidak pernah terjadi tembak-menembak karena adanya Surat Keputusan Panglima TNI Nomor: Skep/158/IV/2005 tanggal 21 April 2005 bahwa pada masa damai, unsur TNI AL di wilayah perbatasan RI-Malaysia harus bersikap kedepankan perdamaian dan TNI AL hanya diperbolehkan melepaskan tembakan bilamana setelah diawali adanya tembakan dari pihak Malaysia terlebih dahulu.
* Shamsudin Bardan, Ketua Eksekutif Persekutuan Majikan-majikan Malaysia (MEF) menganjurkan agar warga Malaysia mengurangi pemakaian tenaga kerja berasal dari Indonesia
* Pihak Indonesia mengklaim adanya 35 kali pelanggaran perbatasan oleh Malaysia.
* Tgl 24 Februari 2007 pukul 10.00 WITA, yakni kapal perang Malaysia KD Budiman dengan kecepatan 10 knot memasuki wilayah Republik Indonesia sejauh satu mil laut, pada sore harinya, pukul 15.00 WITA, kapal perang KD Sri Perlis melintas dengan kecepatan 10 knot memasuki wilayah Republik Indonesia sejauh dua mil laut yang setelah itu dibayang-bayangi KRI Welang, kedua kapal berhasil diusir keluar wilayah Republik Indonesia.
* Tgl 25 Februari 2007 pukul 09.00 WITA KD Sri Perli memasuki wilayah RI sejauh 3.000 yard yang akhirnya diusir keluar oleh KRI Untung Suropati, kembali sekitar pukul 11.00, satu pesawat udara patroli maritim Malaysia jenis Beech Craft B 200 T Superking melintas memasuki wilayah RI sejauh 3.000 yard, kemudian empat kapal
perang yakni KRI Ki Hadjar Dewantara, KRI Keris, KRI Untung Suropati dan KRI Welang disiagakan.
            Apakah tindakan malaysia tersebut termasuk pelanggaran internasiomal?, apabila dilihat dari sudut pandang indonesia tentu saja pelanggaran batas yang dilakukan oleh malaysia merupakan salah satu pelanggaran internasional , mengacu pada UNCLOS 1982 malysia secara jelas telah melanggar kedaulatan indonesia berdasarkan hukum laut internasional atau konvensi hukum laut PBB (United Nation Convention Law of Sea-UNCLOS) yang telah dituangkan dalam UU No.17 tahun 1984, Ambalat diakui dunia internasional sebagai bagian dari wilayah Indonesia.
Dalam kasus Ambalat ini, kalau ada kapal patroli Malaysia memasuki Ambalat bisa saja digiring masuk ke pelabuhan Indonesia selanjutnya ditangkap. “Kapal nelayan saja tidak boleh melanggar batas wilayah negara lain, apalagi kapal patroli atau kapal perang,” karena wilayah ambalat merupakan wilayah kedaulatan negara Republik Indonesia.
Potensi kekayaan sumber daya migas Blok ambalat sangat menjanjikan bagi pihak yang memilikinya. Menurut ahli geologi dari lembag konsultan exploration think tank Indonesia, Andang bachtiar, ambalat menyimpan cadangan potensial yakni 764 juta barel minyak dan 1,4 triliyun kaki kubik gas dari satu titik tambang saja sedangkan di sana ada 9 titik tambang . bahkan pakar perminyakan kurtubi menaksir , potensi pemasukan negara dari minyak ambalat bisa mencapai US$ 40 milyar . nilai yang sangt besar dan menjadi sangat rasional apabila kedua negara memperebutkan Blok ambalat tersebut .

5.kasualitas
            Penyebab klaim yang dilakukan oleh pihak malaysia adalah disebabkan akibat lemahnya Pengawasan Departemen Luar  Negeri yang hanya berbicara pada tatanan tekhnis dari pada kondisi di lapangan. Malaysia sudah terbukti melakukan pelanggaran namun Deplu belum bisa mengatakan bahwa Malaysia telah melakukan pelanggaran.
Salah satu akar sebab sehingga kasus Blok Ambalat mencuat lagi adalah akibat kelemahan pemerintah pusat dalam membangun perbatasan sehingga pihak luar memandang sebelah mata kawasan itu karena mengganggapnya sebagai  "wilayah tak bertuan". Contoh nyata tentang sikap pusat tersebut tercermin dari alokasi dana untuk membangun infrastruktur di kawasan perbatasan. Misalnya, ketika Kaltim mengajukan sekian triliun rupiah untuk membangun kawasan perbatasan, yang disetujui kadang-kadang tidak sampai 10 persen. "Jika pembangunan sudah berjalan baik di kawasan perbatasan, maka dengan sendirinya akan memperkuat sistem pertahanan karena di sana pasti jumlah penduduknya bertambah, Apabila pemerintah pusat tetap membiarkan kondisi perbatasan seperti itu, kata dia, bukan tidak mungkin kasus Ambalat berujung seperti klaim Malaysia atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Pada kasus perebutan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan itu, Indonesia kalah dalam sidang Mahkamah Internasional di Den Haag, Belanda, tahun 2002.
 Malaysia dalam beberapa waktu terakhir membuat ulah dengan memasuki kawasan Indonesia di perairan Ambalat (utara Kaltim) serta mengusir nelayan-nelayan dari Nunukan dan Tarakan dari kawasan itu sehingga kini kapal- kapal perang RI terus bersiaga penuh di sekitar kawasan perbatasan itu. Meskipun dikawal kapal-kapal perang RI, namun Malaysia terus melakukan provokasi dengan lebih dari 100 kali kapal dari negeri jiran itu melakukan pelanggaran wilayah kedaulatan NKRI
6.Penyelesaian sengketa

a. Statue aproach
            Mengingat Malaysia dan Indonesia telah meratifikasi UNCLOS maka idealnya penyelesaian sengketa mengacu pada UNCLOS, bukan pada ketentuan yang berlaku sepihak. Menurut UNCLOS, Pulau Borneo (yang padanya terdapat Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam) berhak atas laut teritorial, zona tambahan, ZEE dan landas kontinen. Di sebelah
timur Borneo, bisa ditentukan batas terluar laut teritorial yang berjarak 12 mil dari garis pangkal, kemudian garis berjarak 200 mil yang merupakan batas ZEE demikian seterusnya untuk landas kontinen. Zona-zona yang terbentuk ini adalah hak dari daratan Borneo. Pertanyaan selanjutnya adalah mana yang merupakan hak Indonesia, dan mana jatah untuk Malaysia? Secara sederhana bisa dikatakan bahwa yang di bagian selatan adalah hak Indonesia dan di utara adalah hak Malaysia. Tentu saja, dalam hal ini, perlu ditetapkan garis batas yang membagi kawasanm perairan tersebut. Sementara itu, garis batas darat antara Indonesia dan Malaysia di Borneo memang sudah ditetapkan. Garis itu melalui Pulau Sebatik, sebuah pulau kecil di ujung timur Borneo, pada lokasi lintang 4° 10’ (empat derajat 10 menit)  lintang utara (lihat Gambar 2). Garis tersebut berhenti di ujung timur Pulau Sebatik. Idealnya, titik akhir dari batas darat ini menjadi titik awal dari garis batas maritim. Meski demikian, ini tidak bearti bahwa garis batas maritim harus berupa garis lurus mengikuti garis 4° 10’ lintang utara. Garis batas maritim ini harus sedemikian rupa sehingga membagi kawasan maritim di Laut Sulawesi secara adil. Garis inilah yang akan menentukan “pembagian” kedaulatan dan hak berdaulat Indonesia dan Malaysia atas kawasan   maritim di Laut Sulawesi, termasuk Blok Ambalat. Hingga makalah ini dibuat, garis ini belum ada/disepakati dan sedang dirundingkan. Menurut UNCLOS, proses penentuan garis batas landas kontinen mengacu pada Pasal 83 yang mensyaratkan dicapainya solusi yang adil atau “equitable solution” (Ayat 1). Untuk mencapai solusi yang adil inilah kedua negara dituntut untuk berkreativitas sehingga diperlukan tim negosiasi yang berkapasitas memadai. Perlu diperhatikan bahwa ’adil’ tidak selalu berarti sama jarak atau equidistance.

b.conceptual aproach (secara kajian teori atau pendapat)

                Ambalat merupakan salah satu kasus sengketa perbatasan yang saat ini banyak menjadi sorotan publik. Berbagai opini, pandangan dan tanggapan tentang solusi atau penyelesaian masalah ini banyak di kemukakan tokoh-tokoh di negeri ini. Secara umum sebagian besar berpendapat setuju Indonesia mengambil sikap tegas dalam menyikapi kasus sengketa Ambalat tapi bukan melalui konfrontasi senjata atau perang (perang adalah jalan terakhir setelah cara diplomasi gagal). Ini didasari dengan beberapa alasan diantaranya adalah bahwa konfrontasi bersenjata tidak lagi populer sebagai resolusi konflik antar bangsa, konfrontasi senjata akan merugikan kedua belah pihak baik secara politik, ekonomi maupun sosial. Penjelasannya demikian, secara politik, citra kedua negara tercoreng, paling tidak diantara negara-negara ASEAN. Sebagaimana diketahui kedua negara termasuk pelopor berdirinya ASEAN, dimana ASEAN didirikan sebagai resolusi konflik, maka cara-cara konfrontasi senjata dapat menjatuhkan citra kedua negara. Secara ekonomi, jelas kedua negara akan mengalami kerugian, perang perlu anggaran yang besar dan tentunya menghambat pembangunan di kedua negara dan bagi Indonesia yang kondisi ekonominya lemah akan sangat terbebani secara ekonomi dengan adanya perang. Aspek sosialnya juga tidak sedikit terutama bagi penduduk di wilayah perbatasan dan TKI kita, mereka harus terpisahkan dengan keluarga akibat terjadinya perang. (Pengalaman saat konfrontasi ditahun 60-an) Lantas sikap tegas yang bagaimana yang harus kita ambil? Tahap awal adalah dengan diplomasi yang handal dan intens yang secara simultan diikuti dengan penguatan ekonomi dan Angkatan Bersenjata kita terutama TNI AL dan TNI AU. Di daerah yang menjadi sengketa tetap fokus pada ROE untuk memagari agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, media harus mengungkap permasalahan ini dengan sejelas mungkin untuk menghindari tindakan yang profokatif dan mengarah pada Nasionalisme sempit yang tidak bermanfaat bagi Indonesia bahkan dapat merugikan, wartawan membantu tim diplomasi mengumpulkan sebanyak mungkin bukti2 pelanggaran, tetapi ditas semua itu tentunya kita  harus selalu siap pada kondisi terburuk yaitu perang.

7.kesimpulan
Perbatasan Indonesia-Malaysia di Laut Sulawesi, di mana Ambalat berada,memang belum terselesaikan secara tuntas. Ketidaktuntasan ini sesungguhnyasudah berbuah kekalahan ketika Sipadan dan Ligitan dipersoalkan dan akhirnyadimenangkan oleh Malaysia. Jika memang belum pernah dicapai kesepakatanyang secara eksplisit berkaitan dengan Ambalat maka perlu dirujuk kembaliKonvensi Batas Negara tahun 1891 yang ditandatangani oleh Belanda dan Inggrissebagai penguasa di daerah tersebut di masa kolinialisasi. Konvensi ini tentu sajamenjadi salah satu acuan utama dalam penentuan perbatasan antara Indonesia dan Malaysia di Kalimantan. Perlu diteliti apakah Konvensi tersebut secara eksplisit memuat/mengatur kepemilikan Ambalat. Cara terbaik adalah jika para pembuatkebijakan, baik di Jakarta dan Kuala Lumpur maupun berbagai kelompok masyarakat di kedua negara, bersedia menggunakan kerangka pemikiran holistik untuk mengelola sengketa itu.

Senin, 29 April 2013

Keberadaan pidana denda dalam UU no 22 tahun 2009 tentang lalu lintas



Keberadaan pidana denda dalam UU no 22 tahun 2009 tentang lalu lintas

Latar belakang
            Pada dasarnya penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa penting dan evektivnya keberadaan pidana denda ini di dalam kehidupan masyarakat, dan apakah masyarakat masih tetap percaya terhadap pidana denda ini dan apakah masih dapat di upayakan kebeadaanya..keberadaan pidana denda yang tujuan awalnya adalah memberikan Punishment serta sebagai pendapatan negara merupakan tujuan mulia yang hendak di capai, namun hal itu hanya sekedar angin lalu saja nyatanya pidana tilang tersebut justru menjadi ajang beberapa oknum guna memperoleh keuntungan, hal ini terjadi karena kurang tansparannya audit dari kepolisisan dan kejaksaan mengenai piutang denda tilang yang ada, sesuai denga yang termuat pada harian kompas “Untuk menghindari penyelewengan, pendapatan denda bukti pelanggaran kendaraan bermotor perlu audit dan diumumkan ke publik”[1]. Hal itu penting karena potensi pendapatan dari sektor tersebut sangat tinggi. Puncaknya terjadi selama Ramadhan karena operasi lalu lintas sangat gencar dilakukan oleh kepolisian.  Upaya agar tertib berlalu lintas selalu di gaungkan dan di upayakan oleh pemerintah melalui dalam hal ini adalah aparat kepolisian, banyak hal yang di upayakan dalam mencanangkan program tertib berlalu lintas mulai dari sosialisasi hingga tindakan salah satu tindakan yang sudah dari dulu dan hingga kini masih diterapkan adalah dengan cara pemberian denda kepada setiap pelanggar lalu lintas, denda adalah merupakan salah satu jenis sanksi pidana, pidana denda adalah salah satu jenis pidana dalam stelsel pidana pada umumnya. Apabila obyek dari pidana penjara dan kurungan adalah kemerdekaan orang dan obyek pidana mati adalah jiwa orang maka obyek dari pidana denda adalah harta benda si terpidana. Harta benda yang manakah yang di maksudkan? Apabila kita perhatikan bunyi ketentuan KUHP maupun UU lain maka jelaslah bahwa harta benda yang dimaksudkan adalah dalam bentuk uang dan bukan dalam bentuk natura atau barang, baik bergerak maupun tidak bergerak. Sebagai salah satu jenis pidana denda , tentu saja pidana denda bukan dimaksudkan sekedar untuk tujuan-tujuan ekonomis misalnya untuk sekedar menambah pemasukan keuangan negara, melainkan harus dikaitkan dengan tujuan-tujuan pemidanaan. Pengaturan dan penerapan pidana denda baik dalam tahap legislatif (pembuatan undang-undang) tahap yudikatif (penerapannya oleh hakim), maupun tahap pelaksanaannya oleh komponen peradilan pidana yang berwenang (eksekutif) harus dilakukan sedemikian rupa sehingga efektif dalam mencapai tujuan pemidanaan. Oleh karena itu pidana denda senantiasa dikaitkan dengan pencapaian tujuan pemidanaan. Selanjutnya efektifitas suatu pemidanaan tergantung pada suatu jalinan mata rantai tahap-tahap atau proses sebagai berikut:
a. Tahap penetapan pidana (denda) oleh pembuat undang-undang,
b. Tahap pemberian atau penjatuhan pidana (denda) oleh pengadilan, dan
c. Tahap pelaksanaan pidana (denda) oleh aparat yang berwenang.
Tetapi di samping faktor-faktor diatas, efektifitas pidana denda itu sangat tergantung pula pada pandangan dan penilaian masyarakat terhadap pidana denda. Apabila masyarakat masih melihat pidana denda sebagai hal yang kurang memenuhi rasa keadilan. Perlunya diadakan penelitian apakah keberadaan pidana denda ini masih dapat diterima oleh masyarakat, atapun apakah masyarakat telah puas dengan pidana denda dalam undang undang lalu lintas ini..
Dikaitkan dengan keberadaan denda dalam undang undang nomor 22 tahun 2009 dalam hal ini denda menjadi sebilah mata pisau bagi aparat kepolisian untuk mentertibkan masyarakat sehingga masyarakat akan patuh terhadap undang undang Lalu lintas ini, Namun keberadaan pidana denda ini bukannya tanpa masalah , banyak permasalahn yang muncul dalam penerapan sanksi pidana denda ini dalam pelaksanaan undang undang nomor 22 tahun 2009 tentang lalu lintas, maka bukan tidak mungkin dan seharusnya mungkin ada sanksi lain  yang diterapkan dalam pelksanaan undang undang lalu lintas ini semisal pemberian sanksi sosial berupa kerja sosial , maupun sanksi moral yang juga akan menimbulkan efek jera bagi pelaku pelanggaran undang undang lalu lintas, hal ini karena keberadaan denda sudah sangat kuno dan dianggap terlalu ringan bagi sebagian kalangan sehingga tidak menimbulkan efek jera maupun rasa bersalah ketika para pelaku ini melanggar undang undang lalu lintas, selain itu tidak usah kita pungkiri juga bahwa keberadaan sanksi denda ini juga dimanfaatkan oleh oknum oknum kepolisian mencari keuntungan dengan melakukan perbuatan korupsi,selain itu proses pembayaran masalah sanksi pidana denda yang tidak semua orang mengerti tentang teknis pembayaran mengenai ada beberapa slip surat tilang juga sangat membingungkan sehingga sering dimanfaatkan oleh segelintir oknum polisi nakal, sering bocornya pembayaran denda dari tilang kendaraan bermotor juga menjadi problem tersendiri yang hingga saat ini masi marak, tentu saja kita tidak bisa secara instan mengganti semua pidana denda dengan sanksi lain karena untuk beberapa hal perlu dipertahankan adanya pidana denda ini karena dianggap cukup evektiv,
Agar lebih mendalami akan di cantumkan Daftar denda tilang yang termuat dalam Undang undang No.22 Tahun 2009 antara lain :
1. Setiap Orang
Mengakibatkan gangguan pada : fungsi rambu lalu lintas, Marka Jalan, Alat pemberi isyarat lalu lintas fasilitas pejalan kaki, dan alat pengaman pengguna jalan.
Pasal 275 ayat (1) jo pasal 28 ayat (2)
Denda : Rp 250.000

2. Setiap Pengguna Jalan
Tidak mematui perintah yang diberikan petugas Polri sebagaimana dimaksud dalam pasal 104 ayat (3), yaitu dalam keadaan tertentu untuk ketertiban dan kelancaran lalu lintas wajib untuk : Berhenti, jalan terus, mempercepat, memperlambat, dan / atau mengalihkan arus kendaraan.
Pasal 282 jo Pasal 104 ayat (3)
Denda : Rp 250.000

3. SETIAP PENGEMUDI ( PENGEMUDI SEMUA JENIS RANMOR )
a. Tidak membawa SIM
Tidak dapat menunjukkan Surat Ijin Mengemudi yang Sah
Pasal 288 ayat (2) jo Pasal 106 ayat (5) hrf b.
Denda : Rp 250.000

b. Tidak memiliki SIM
Mengemudikan kendaraan bermotor di jalan,tidak memiliki Surat Izin Mengemudi
Pasal 281 jo Pasal 77 ayat (1)
Denda : Rp 1.000.000

c. STNK / STCK tidak Sah
Kendaraan Bermotor tidak dilengkapi dengan STNK atau STCK yang ditetapkan oleh Polri.
Psl 288 ayat (1) jo Psl 106 ayat (5) huruf a.
Denda : Rp 500.000

d. TNKB tidak Sah
Kendaraan Bermotor tidak dipasangi Tanda Nomor Kendaraan Bermotor yang ditetapkan oleh Polri.
Pasal 280 jo pasal 68 ayat (1)
Denda : Rp 500.000

e. Perlengkapan yg dpt membahayakan keselamatan.
Kendaraan bermotor dijalan dipasangi perlengkapan yang dapat menganggu keselamatan berlalu lintas antara lain: Bumper tanduk dan lampu menyilaukan.
Pasal 279 jo Pasal 58
Denda : Rp 500.000

f. Sabuk Keselamatan
Tidak mengenakan Sabuk Keselamatan
Psl 289 jo Psl 106 Ayat (6)
Denda : Rp 250.000

g. Lampu utama malam hari
Tanpa menyalakan lampu utama pada malam hari dan kondisi tertentu.
Pasal 293 ayat (1) jo pasal 107 ayat (1)
Denda : Rp 250.000

h. Cara penggandengan dan penempelan dgn kendaraan lain
Melanggar aturan tata cara penggandengan dan penempelan dengan kendaraan lain Pasal 287 ayat (6) jo pasal 106 (4) hrf h
Denda : Rp 250.000

i. Ranmor Tanpa Rumah-rumah
Selain Spd Motor Mengemudikan Kendaraan yang tidak dilengkapi dengan rumah-rumah, tidak mengenakan sabuk keselamatan dan tidak mengenakan Helm.
Pasal 290 jo Pasal 106 (7).
Denda : Rp 250.000

j. Gerakan lalu lintas
Melanggar aturan gerakan lalu litas atau tata cara berhenti dan parkir
Pasal 287 ayat (3) jo Pasal 106 ayat (4) e
Denda : Rp 250.000

k. Kecepatan Maksimum dan minimum
Melanggar aturan Batas Kecepatan paling Tinggi atau Paling Rendah
Psl 287 ayat(5) jo Psl 106 ayat (4) hrf (g) atau psl 115 hrf (a)
Denda : Rp 500.000

l. Membelok atau berbalik arah
Tidak memberikan isyarat dengan lampu penunjuk arah atau isyarat tangan saat akan membelok atau berbalik arah. Pasal 294 jo pasal 112 (1).
Denda : Rp 250.000

m. Berpindah lajur atau bergerak ke samping
Tidak memberikan isyarat saat akan berpindah lajur atau bergerak kesamping.
Pasal 295 jo pasal 112 ayat (2)
Denda : Rp 250.000

n. Melanggar Rambu atau
Marka Melanggar aturan Perintah atau larangan yang dinyatakan dengan Rambu lalu lintas atau Marka
Psl 287 ayat(1) jo psl 106(4) hrf (a) dan Psl 106 ayat(4) hrf (b)
Denda : Rp 500.000

o. Melanggar Apil (TL - Traffic Light)
Melanggar aturan Perintah atau larangan yang dinyatakan dgn alat pemberi isyarat Lalu Lintas. Psl 287 ayat (2) jo psl 106(4) hrf ©
Denda : Rp 500.000

p. Mengemudi tidak Wajar
- Melakukan kegiatan lain saat mengemudi
- Dipengaruhi oleh suatu keadaan yang mengakibatkan gangguan konsentrasi dalam mengemudi di jalan
Pasal 283 jo pasal 106 (1).
Denda : Rp 750.000

q. Diperlintasan Kereta Api
Mengemudikan Kendaran bermotor pada perlintasan antara Kereta Api dan Jalan, tidak berhenti ketika sinyal sudah berbunyi, Palang Pintu Kereta Api sudah mulai ditutup, dan / atau ada isyarat lain.
Pasal 296 jo pasal 114 hrf (a)
Denda : Rp 750.000

r. Berhenti dalam Keadaan darurat.
Tidak Memasang segitiga pengaman, lampu isyarat peringatan Bahaya atau isyarat lain pada saat berhenti atau parkir dalam keadaan darurat dijalan.
Pasal 298 jo psl 121 ayat (1)
Denda : Rp 500.000

s. Hak utama Kendaraan tertentu
Tidak memberi Prioritas jalan bagi kendaraan bermotor memiliki hak utama yang menggunakan alat peringatan dengan bunyi dan sinar dan / atau yang dikawal oleh petugas Polri.
a. Kend Pemadam Kebakaran yg sdg melaks tugas
b. Ambulan yang mengangkut orang sakit ;
c. Kend untuk memberikan pertolongan pd kecelakaan
Lalu lintas;
d. Kendaraan Pimpinan Lembaga Negara Republik
Indonesia;
e. Kend Pimpinan dan Pejabat Negara Asing serta Lembaga
internasional yg menjadi tamu Negara;
f. Iring – iringan Pengantar Jenazah; dan
g. Konvoi dan / atau kend utk kepentingan tertentu menurut
pertimbangan petugas Kepolisian RI.
Pasal 287 ayat (4) jo Pasal 59 dan pasal 106 (4) huruf (f) jo Pasal 134 dan pasal 135.
Denda : Rp 250.000

t. Hak pejalan kaki atau Pesepeda
Tidak mengutamakan pejalan kaki atau pesepeda
Pasal 284 jo 106 ayat (2).
Denda : Rp 500.000

Dari pengamatan daftar denda di atas terlalu munafik apabila kita mengatakan denda tersebut tidak berat, karena dilihat dai nilai nominalnya , denda denda tersebut lumayan cukup untuk menguras kantong, apalagi bagi kalangan masyarakat yang Ekonominya sedikit lemah belum lagi evek jera yang didapat akan tidak berarti apabila denda tilang tersebut mengenai golongan masyarakat yang berkecukupan atau memiliki tingkat ekonomi yang tinggi. nah oleh karena itu sekiranya Dimungkinkan untuk memasukkan beberapa pidana pengganti yang sekiranya tidak memberatkan masyarakat. Dan apakah masyarakat masi mampu menerima keberadaan pidana denda ini atau berharap muncul pidana pengganti yang dirasa adil dan memiliki efek jera


Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas dapat ditarik beberapa Rumusan masalah dari penelitian ini antara lain.,
1.      Apakah masih evektiv pidana denda pada kasus Tilang di Indonesia pada saat ini?
2.      Apakah masyarakat masih berharap kepada ke efektivan pidana denda dalam Undang undang Nomor 22 tahun 2009?
3.      Apakah masyarakat menghendaki ada pidana lain sebagai pengganti atau pendamping dari pidana denda dalam kasus tilang kendaraan di indonesia?

Tujuan penelitian

·         Tujuan penelitian ini adalah untuk mengukur kepuasan masyarakat terhadap Pidana denda dalam kasus tilang kendaraan bermotor
·         Tujuan yang ke dua adalah untuk mengetahui ke evektifan dari pelaksanaan Pidana denda ini dari efek jera yang ditimbulkan dan tingkat pelanggaran lalu lintas dalam masyarakat
·         Dan yang terakhir adalah menjadi masukan bagi Legislatif atau aparat kepolisian guna menciptakan punishment baru yang bisa dianggap adil dan memiliki evek jera dalam masyarakat.


Manfat penelitian
Manfaat dari diadakan penelitian hukum mengenai masalah ini adalah ;
1.      Mengetahui tingkat keevektifan dari pidana denda yang termuat dalam tilang kendaraan bermotor
2.      Mengetahui pendapat masyarakat mengenai pidana denda dari tilang kendaraan bermotor yang berlaku saat ini di wilayah hukum Indonesia

Metode penelitian :
a. Wilayah Penelitian :
Daerah wilayah kota Surabaya mewakili seluruh indonesia dengan dibagi menjadi 4 wilayah
·         Surabaya Utara;
-Bulak                         -Krembangan
-Semampir                   -Pabean cantikan
-Kenjeran
·         Surabaya Selatan
-Wonocolo                  -Jambangan
-Wonokromo               -Dukuh pakis
-Wiyung
-Karangpilang
·         Surabaya Barat
-Benowo                     -Asemrowo
-Pakal                          -Sambikerep
-Sukomanunggal         -Lakarsantri
·         Surabaya Timur
-Gubeng                      -sukolilo                     
-Tenggilis mejoyo
-Gununganyar             -Mulyorejo
-Tambaksari                 -Rungkut
·         Surabaya Pusat
-Tegalsari                     -bubutan
-genteng                      -Simokerto



Jenis dan Sumber Data
Meliputi data primer dan sekunder,
Data primer diperoleh langsung dari responden dan informan kunci, yaitu :
-          Masyarakat, sebanyak 50 orang dengan cluster Random umur kisaran 20-40 Tahun yang tidak cacat Hukum dan bisa mengendarai kendaraan bermotor serta selalu menggunakan kendaraan bermotor pribadi dalam kegiatan sehari hari
-          Kasatlantas Polrestabes Surabaya.
Data sekunder , dilakukan dengan penelitian kepustakaan guna mendapatkan landasan teoritis. Pengumpulan data ini dilakukan dengan studi atau penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu dengan mempelajari peraturan-peraturan, dokumen-dokumen maupun buku-buku yang ada kaitannya dengan masalah yang diteliti, dan doktrin atau pendapat para sarjana. 
Teknik dan metode pengambilan data
Data yang telah terkumpul melalui kegiatan pengumpulan data belum memberikan arti apa-apa bagi tujuan penelitian. Penelitian belum dapat ditarik kesimpulan bagi tujuan penelitiannya sebab data itu masih merupakan bahan mentah, sehingga diperlukan usaha untuk mengolahnya  Menjadi digram diagram yang sitematis sehingga mudah dalam memahaminya
Proses yang dilakukan adalah dengan memeriksa, meneliti data yang diperoleh untuk menjamin apakah data dapat dipertanggung jawabkan sesuai dengan kenyataan. Atau valid  Setelah data diolah dan dirasa cukup maka selanjutnya disajikan dalam bentuk uraian-uraian kaliamat yang sistematis disertai diagram diagram yang sistematis mudah dicerna

Analisis Data
Metode analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif, yaitu uraian data secara bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur, runtun, logis dan tidak tumpang tindih sehingga memudahkan implementasi data dan pemahaman hasil analisis. Dalam hal ini setelah bahan dan data diperoleh, maka selanjutnya diperiksa kembali bahan dan data yang telah diterima terutama mengenai konsistensi jawaban dari keragaman bahan dan data yang diterima. Dari bahan dan data tersebut selanjutnya dilakukan analisis terhadap penerapan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap anak dari tindak pidana pencabulan.








[1] Kompas,Denda tilang perlu diumumkan,h1,8januari2013